PROSTITUSI ONLINE DALAM KONTRUSKSI
SOSIAL
Oleh (Lalis Nurhayati)
1.
Seks,
Seksualitas, dan Seksologi
Ada tiga istilah yang menarik dibicarakan dalam
perbincangan sehari-hari maupun dalam perbincangan ilmiah. Yaitu seks,
seksualitas, dan seksologi, Tiga istilah ini memiliki dunianya sendiri-sendiri
dan ruang lingkup yang berbeda.
Seks merupakan suatu aspek dalam kehidupan manusia
yang sangat penting, tidak hanya sebagai kegiatan yang bertujuan untuk
reproduksi, seks merupakan proses kegiatan yang bertujuan untuk kehidupa spesies manusia dari masa kemasa. Jumlah
manusia yang secara kwantitas adalah hasil daripada proses kegiatan seks yang
bertujuan untuk produksi, disisi lain, ada tindakan seks yang ditunjukan untuk
rekreasi dan prorekreasi. Hakikat dari tindakan ini adalah sebagai kegiatan
seks yang bertujuan untuk mengendorkan saraf-saraf yang terkait dengan
pelepasan hasrat seksual.
Secara bahasa seks adalah, suatu kenyataan yang
membedakan manusia masing-masing antara laki-laki dan perempuan. Seks merupakan
bagian dari kebutuhan manusia yang mendasar. Seks tidak hanya kebutuhan fisik,
speerti minum dan makan. Tetapi juga menjadi kebutuhan psikologis yang
berupa ketenangan, kenyamanan, dan kesejahteraan jiwa. Sselain itu seks juga
merupakan kebutuhan integrative, yaitu kebutuhan manusia untuk melampiaskan
kasih sayang, cinta, dan keindahan.
Seks telah menjadi bagian yang takterpisahkan dari
kehidupan manusia. Seks bisa bercorak natural dan bisa juga nurtural. Seks
dinamakan bercorak natural karena tindakan seksual adalah sesuatu yang bersifat
fisiskal manusiawi, namun ia juga suatu tindakan yang merupakan hasil
konstruksi manusia. Dengan demikian, seks bukan hanya soal kenikmatan ragawi,
juga bukan hanya hubungan intim antara laki-laki dan perempuan, lebih daripada
itu seks juga berkaitan kelindan dengan peradaban manusia dimasa depan. Dengan
tembok-tembok pemisah sosio kultural yang semakin tipis maka seksualitas
produtif akan memperkaya manusia dan menjaga kelangsungan spesies homo sapiens,
manusia yang bijak dan berpikir.[1]
Seksualitas memang sudah tidak lagi mengenal batas
territorial. Sebagai mahluk pelintas batas, manusia juga melakukan petulangan
untuk melakukan tindakan seksualnya. Dimasa lalu, perkawinan hanya terjadi
secara indogami dalam bata territorial yang sempit, seperti perawinan antar
desa dan antar kabupaten, atau antar propvinsi sesuai dengan batas kemampuan
manusia untuk melakukan migrasi. [2]
Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman, majunya transportasi dan
informasi, serta teknologi yang semakin modern, dinamika pernikahanpun tidak
hanya dibatasi dengan sekat-sekat geografis. Migrasi manusia antarwilayah yang
cepat telah menjadi variabel penting bagi munculnya pernikahan eksogami
diantara satu suku dengan suku-suku lainya. Sejalan dengan hal itu, jika seks
berada diruang domestik, seksualitas dan seksologi bisa berada diruang public.
Seksualitas bisa dibicarakan dalam pendidikan seperti seminar-seminar. Dialo
ataupun diskusi.
Hal yang sama terjadi dalam kasus seksologi, yang
dimana seksologi adalah ilmu yang mengkaji tentang perilaku sesksual manusia.[3]
Dalam artian juga seks dibiarakan diruang publik. Sesologi lebih dipelajari
pada hal tertutup seperti ruang perkuliahan. Dengan tujuan sebagai sarana untuk
mengembangkan wawasan mahasiswa yang selama ini dianggap tabu. Seks,
seksualitas, dan seksologi adalah kata kunci untuk memahami persoalan seks
dengan berbagai perspektifnya.
2.
Globalisasi:
Antara Prostitusi dan Eksploitasi Seksual
Segala sesuatu yang berkaitan denganindustri seks selalu
menarik untuk dilihat dalamkonteks bisnisdari dulu hingga saat ini.Seperti
pendapat McIntosh (1978, dalam Sanders,2008) beragumentasi bahwa dari empar
dekade lalu, sisi ekonomi dari industri seks tidak dapat hanya di lihat dari
kebutuhan seksual laki-laki. Tetapi dengan masuknya kemajuan zaman
dimanateknologi informasi berkembang secara cepat,industri seks dan industry internet
juga menjadi mitra dalam memperluas kapasitas mereka untuk
mengeksploitasiperempuan dan anak perempuan di seluruh dunia(Hughes,
2000).Secara hitung-hitunganekonomi, fakta mengenai perdagangan manusia untuk
tujuan prostitusi selalu mencengangkan. Seperti hasil penelitian Cook pada
tahun 1998 (dalam Hughes, 2000),diperkirakan setiap tahun terdapat empat juta
orang, sebagian besar perempuan dan anak perempuan, diperdagangkan di seluruh
dunia dan satu juta anak diantaranya diperdagangkanke industri seks lokal dan
internasional.Penjualan wanita muda untuk dijadikan budak seksual telah menjadi
salah satu usaha kriminaltingkat internasional yang paling cepatberkembang,
diperkirakanpenghadilan usaha ini mencapaiUS $ 6 milyar per tahun
(Hughes,2000).
Meskipun banyak keterkaitan antara perdagangan
manusia, eksplotasi seksual, danprostitusi, namun terdapat garis tegas yang
memisahkanistilah tersebut.Persepsi publik mengenai perdagangan manusia
sebagian besar masih berputar di sekitar image wanita yang dipaksa melintasi
perbatasan Negara untuk menjadi pekerja seks (Segrave, dll: 2009).Menyebrangi
perbatasan antar negara menjadi kata kunci dari definisi perdagangan
manusia,namun sering tidak relevan karena perdagangan manusia jarang
teridentifikasi oleh pihak keimigrasian karena perdagangan manusia tidak
ditentukan dari jumlah pengalaman pekerja seks miliki dalam dunia
prostitusi(tidak seperti standar pertanyaan umum pihak imigrasi),tetapi dari
adanya kondisi eksploitatif di tempat kerja atau proses migrasi (Pickering
& Ham,2013).SedangkanProstitusi berasal dari bahasa inggris ‘ prostitution’
yang berartipelacuran,sedangkan perempuan pekerja seks yang dipahami sebagai
orang-orang yang "bertukar hubungan seksual (termasuk oral seks) untuk
uang atau materi lainnya”(Murphy &Venkatesh, 2006).Tidak seperti
perdagangan manusia yang selalu bersifat eksplotatif,pekerja seks dalam dunia
prostitusi lebih beragam,Sanders (2008)melihat adanya kekuatansosial yang
berkontribusi membawa orang, khususnya perempuan, masuk ke dalam industry seks,
yaitu: migrasi, keterbatasan ekonomi, dan “pilihan”.[4]
3.
Prostitusi
Online dalam Konstruksi Sosial
Prostitusi Online bisa dinalisis dengan pendekatan
interaksionisme simbolik dari Harbert Blumer. Konsep ini menjelaskan bahwa iteraksionisme
simbolik merupakan cara pandang yang memperlakukan individu sebagai diri
sendiri dan diri sosial. Kita bisa menentukan makna subyektif pada setiap obyek
yang kita temui, ketimbang kita menerima apa adanya makna yang dianggap
obyektif, yang telah dirancang sebelumnya. Struktur sosial bisa kita lihat
sebagai hasil produksi interaksi bersama, demikian pula dengan
kelompok-kelompok sosial yang lain. Istilah konstruksi sosial atas realitas
(sosial construction of reality) didefinisikan sebagai proses sosial melalui
tindakan dan interaksi dimana individu menciptakan secara terus-menerus suatu
realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif. (Poloma, 2004:301).
Maraknya prostitusi Online bisa kita lihat dengan
tertangkapnya salah seorang mucikari yang berinisial AA, yang dimana dia adalah
seorang mucikari dengan media online sebagai lading dari penghasilanya. Dengan menggunakan
media dia melakukan transaksi prostitusi dari mulai mempromosikan sampai pada
tahap akhir transaksi dengan pelanggan.
Dengan mengartikannya sebagai proses sosial melalui
tindakan dan interaksi dimana individumenciptakan secara terus-menerus suatu
realitas yang dimiliki dan dialami bersama secarasubyektif. Dalam pandangan
Giddens, individu dapat menafsirkan makna dari aturan-aturansosial dengan cara
yang berbeda dan dapat mengambil langkah-langkah yang bertujuan untuk mengubah
atau membuat ulang "peraturan" itu (Giddens, 1979).
Dalam konteks Indonesia, prostitusi sering kali
dilihat sebagai suatu masalah sosial yang terkait dengan adanya label
“menyimpang” yang diberikan pada para pekerja seks. Pelabelan ini diberikan
pada seluruh pekerja seks yang terlibat dalam prostitusi ini.Sedangkan
kenyataannya, konteks pekerja seks ini masih menjadi perdebatan, bahkan
dikalangan feminis masih memperdebatkanapakah itu adalah bentuk kerja
yangsesuaidenganperspektif hak asasi parapekerja seksuntuk memilih pekerjaan
ini,atau bentuk eksploitasiseksualseperti pandangan perspektif anti-prostitusi
dan perbudakan (Maher dll, 2012).Perdebatan itu akan terus berjalan seiring
dengan pembentukan definisi itu prostitusi itusendiri.Meskipun begitu,
pandangan tentang peran sosial dan posisi pekerja
seksdalamprostitusiternagisecara jelas antara yang melihat pekerja seks sebagai
orang yang "memilih"untuk menjadi pekerja seks sebagai pekerjaan
untuk kehidupanmereka, dan orang-orangyang melihat pekerja seks sebagai korban
yang tereksploitasi dari masyarakat patriarki(Gatrell, 2010).
Dengan banyaknya perkembangan kelompok feminist
modern, pandanganmengenai prostitusi pun berubah dilematis dalam
pendefinisiannya. Antar kelompok feministpun terjadi perpecahan
pendefinisianmengenai prostitusi itu sendiri.Gagasanpekerja seks yang telah
memilih pekerjaan ini secararasionalsebagaisuatupilihan, berarti mereka
bertujuanuntuk mengkomersialkan tubuh mereka melalui memasukiindustri seks.
Dengan kata lain, mereka "memilih" pekerjaan ini sebagai sarana untuk
mencari nafkah diantara preferensipekerjaanlainnya yang kurang menarik(Sanders,
2005).
Para pendukung konsep "pekerja seks sebagai
agen"dari dirinya sendirimenolak untuk mengklasifikasikan pekerjaan ini
sebagai "prostitusi". Hal ini karena label perempuan pekerjaseks
sebagai "pelacur" menempatkan mereka sebagai penjahat dan sekaligus
menjadi korban,dan membedakan mereka dari pekerja yang bekerja di pasar tenaga
kerja formal(Jeffrey &MacDonald, 2006).
Proses membedakan prostitusi dengan pekerjaan
lainnya yang sering terjadi itu gagalmelihat bahwapekerja seks adalah
kelompokyangberagam.Para pekerja seks juga memilikipilihan yang
bervariasisesuai dengan keadaan sosial, ekonomi, dan kesehatan mereka; serta tergantung
pada apakah mereka adalah bagian daripekerja" indoor ", "outdoor
", atau diperdagangkan dalam industri seks (Gatrell, 2010).Terkait dengan
prostitusi online, mereka yang bekerjadengan cara online termasuk dalam “pekerja
seks indoor", baik sebagai gadis pendamping atau gadis panggilan
(Murphy& Venkatesh, 2000).
Pekerja ini merupakan strata paling tinggi karena
dibayar dengan baik dan sering klien yang merekalayaniadalahpebisniskelas atas.
Pekerja seks di level inimungkin menganggap pekerjaan ini sebagai
"karir" (Murphy dan Venkatesh, 2006).Barlow (1978) melihat terdapat
tiga stratapekerja seksberdasarkan aksinya: yangpaling rendah adalahpekerja
seksjalanan (the streetwalkers atau street hookers) yang berpraktek di jalanan.
Mereka yang paling rendah penerimaan order dibanding pekerja sekslainnya. Di
atasnya adalahpekerja seksyang bekerja di rumah-rumah bordil (biasa disebut whorehouse).
Dan posisi tertinggi di antara parapekerja seksadalah mereka yang disebutdengan
gadis panggilan (call girl).
Mereka memiliki metode operasi yang berbeda,
gadispanggilan yang sudah mapan akan selalu menjaga pelanggannya dengan
pelayanan khusus,rahasianya pun relatif terjaga sebab untuk berhubungan dengan
mereka sering harusmenggunakan referensi khusus.Gadis Panggilanjugamemiliki
sumber daya keuangan yangmemadai untuk menyewa atau membeli tempat praktek
mereka sendiri dan dapat menjalinkerja sama dengan klien melalui internet
(Gatrall, 2010).Karena proses transaksi melalui internet dan perlunya referensi
khusus, pekerja seks indoor memiliki kelebihan keamanan dibandingkan dengan
pekerja seks jalanan atau outdoor
.Karena hal ini memungkinkan terbentuknya
serangkaian pembatasan tentang tindakanseksual yang dapat diterima dan yang
tidak danaturan-aturanyang harus dipatuhi oleh klien(misalnya menolak ciuman
dan wajib menggunakan kondom) (Sanders, 2005).Hal ini berarti,pekerja seks yang
berpraktek menggunakan sistem prostitusi online kemungkinan sudah merupakan
bagian dari pekerja seks yang menjadikannya sebagai suatu karir atau
pilihanhidup yang dari sisi risiko praktiknya juga paling aman dan
penghasilannya juga jauh lebihbesar.
Berdasarkan penelitian Santoso (1996), alasan yang
melatarbelakangi pekerja seksmasuk ke dalam prostitusi diantaranya karena
dipaksa, karena dijerumuskan seseorang, tidak punya pilihan lain, kebutuhan
uang yang mendesak, broken home, drop out dari sekolah, dankemiskinan. Situasi di atas
dan berbagai permasalahan yang timbul di dalamnya mengantarkan kita pada
pemikiran bahwa bagaimanapun,prostitusiberdekatan denganperdagangan manusia ( trafficking)
Sistem prostitus online tidak selalu berarti bahwaterbebas
dari praktek perdagangan manusia. Dalam konteks prostitusi pada perspektif,
pekerja sekstidak bisa dilepaskan daripengaruh masyarakat yang memberikan
label. Seperti pendapat Paulus Tangdilintin (2000),Pendekatan ini merupakan
suatu pendekatan mikro yang menekankan pada kegiatan aksi(action approach) yang
melihat bahwa masyarakat tidak dapat dianalisis tersendiri lepas daritindakan
yang membentuknya. Realita sosial menunjukkan bahwa dinamika
psikologipenerimaan diri pekerja seksadalah dengan proses: (a) individu
menyadari jenis pekerjaanyang dilakukan, (b) mempunyairencana bahwabekerja
sebagai pekerja sekstidak selamanya,(c) menerima kenyataan sehingga tidak
terganggu emosinya, (d) berusaha menciptakan keharmonisan dengan lingkungan
tempat tinggal (Destiani, 2008).Dalam upaya meningkatkan prospek bahwa pekerja
seks dapat diperlakukan atasdasar kesetaraan dengan pekerja di pasar tenaga
kerja formal, terdapat potensi manfaat terkait gagasan tersebut. Misalnya,
pekerja seks yang percaya diri menjadi ‘agen’ untuk dirinya sendiri mungkin
dalam posisi yang lebih baik untuk mengakses pelayanan sosial dankesehatan
dibandingkan jika dia diperlakukan sebagai korban tak berdaya (Hubbard, 2004).
Pengertian seperti pekerja seks sebagai ‘agen dari
dirinya sendiri’ dan mampu dilihat sebagai penting dalam pergeseran pemahaman
konvensional pekerja seks sebagai penjahat dankorban (Jeffrey dan MacDonald,
2006).Bagaimanapun, konsep pekerja seks sebagai agen adalah konsep ideal.
Sehingga,selain konsep yang melihat bahwa perempuan pekerja seks sebagai suatu
preferensi, sebagianbesar juga melihat mereka sebagai korban eksploitasi dari
dunia patriarki (Gatrall, 2010).
Terdapat tiga feminis yang sangat vokal mendukung
perspektif bahwa pekerja seks bukanlahsuatu pekerjaan, perempuan pekerja seks
dilihat sebagai korban eksploitasi, tidak bisamewakili dirinya sendiri, rentan
terhadap penyalahgunaan, dan membutuhkan perlindungandari orang lain. Dworkin
(1996) & Patemen (1998), mereka melihat pekerja seks sebagaiorang yang
tidak berdaya untuk memisahkan kehidupan pekerjaan dan kehidupan
personal.Sedangkan Sullivan (2007) berpendapat bahwa pekerjaan seks merupakan
bentuk kekerasandan melanggengkan dominasi budaya dan seksual laki-laki atas
perempuan[5]
[1] Prof. Dr. Nur Syam, M.Si. Agama Pelacur. Yogyakarta: PT. LKIS,
Pinting Cemerlang, 2010.
[2] Mengenai tatacara peminangan dan
perkawinan masyarakat pedesaan, baik perkawinan antar desa, luar desa, atau
bahkan antar kabupaten , Nursyam, Madzhab
Antropologi Budaya, Yogyakarta: LKIS, 2007. Hlm. 135-182
[3] A.S. Hornby, oxford Advance
Learning Dictionary…… hlm. 1078
[4] https://www.academia.edu/14628167/Konstruksi_Sosial_Prostitusi_Online_di_Indonesia
diakses pada tanggal 11 januari 2015
[5]
https://www.academia.edu/14628167/Konstruksi_Sosial_Prostitusi_Online_di_Indonesia
diakses pada tanggal 11 januari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar