LATERGI KEBUDAYAAN
Letargi Kebudayaan (ROBERTUS ROBET)
Mengapa kita begitu gampang melupakan, bahkan melupakan pandangan-pandangan
dasar kita sendiri? Mengapa kita begitu mudah menggeser prinsip? Mengapa kita
terus dengan mudah memberikan toleransi kepada pemimpin-pemimpin dan politisi
yang berjanji, mengingkarinya, berjanji lagi dan mengingkarinya lagi? Mengapa
kita dengan mudah tergoda dan beralih kepada idola-idola ketimbang berpikir
secara serius dan mendalami mengenai apa-apa yang terpenting untuk mencapai
kemaslahatan bersama? Mengapa kita dengan mudah memaklumi kesalahan dan
kejahatan publik yang sebenarnya serius, bahkan kemudian sering malah berbaris
meletakkan diri kita di bawahnya? Mengapa kita sering gagal bertindak dalam
standar etis dan dengan mudah jatuh ke dalam hipokrisi? Barangkali kita tengah
mengalami gejala letargi kebudayaan.
Letargi secara leksikal sering
diterjemahkan sebagai "kelelahan". Letargi dialami masyarakat Amerika
pada tahun 1990-an awal dengan ciri-ciri meluasnya perilaku malas, di mana
orang lebih banyak menghabiskan waktu di depan TV, berleha-leha, gaya hidup
asal-asalan, tidak memiliki disiplin dan tujuan hidup (Daniel W Rosided, 1993:
hal 488). Gejala-gejala fisik serupa juga terjadi di Inggris pada masa pasca
Perang Dunia II. Intinya, penelitian sosiologi menyoroti gejala letargi sebagai
bentuk-bentuk perilaku sosial di dalam masyarakat di mana apati meluas dan
banyak orang menjadi tidak produktif, serba putus asa, tanpa gairah. Namun,
teolog Amerika, James V Schaal, memiliki definisi yang lebih luas dan lebih
tepat untuk menjelaskan letargi sebagai gejala historis dalam kebudayaan
ketimbang hanya persoalan dalam perilaku sebagaimana ditafsirkan oleh sosiologi
tingkah laku.
Dalam pandangan Schaal, letargi lebih merujuk pada kelelahan
secara mental, bukan kelelahan fisik dan bukan semata-mata persoalan perilaku.
Letargi menyangkut kemunduran yang lebih subtil, yakni tanda dari mulainya
gejala kemerosotan dalam peradaban, kemandulan dalam dunia intelektual,
kemandekan dalam politik dan sosial (James V Schaal SJ, 2014). Secara fisik
kita mungkin aktif, bergerak ke sana-kemari, berkunjung ke pihak-pihak,
menulis, menjadi relawan ini dan itu, anggota partai politik, tetapi secara
mental kita mentok dan kering gagasan.
Letargi kebudayaan membuat kita gagal
menggerakkan kapasitas mental untuk mencari alternatif-alternatif yang paling
optimum untuk mengatasi keburukan. Akibatnya, kita menghabiskan tindakan untuk
menutup satu keburukan besar melalui akumulasi keburukan-keburukan yang lebih
kecil. Awal runtuhnya peradaban Kita terlampau payah untuk secara maksimum
mencari yang terbaik untuk masyarakat. Letargi membuat kita jatuh dalam
kecendrungan untuk "asal ada saja" atau "yang penting bukan
dia", bukannya berpikir melampaui dan mencari apa atau siapa yang terbaik
untuk masyarakat kita dan bertahan dalam ideal itu. Ketiadaan upaya untuk
mencari yang terbaik secara optimum adalah awal dari merosotnya peradaban.
Istilah letargi sendiri berasal dari katalethe, yakni salah satu nama sungai
dari empat sungai yang disebut-sebut dalam mitologi Yunani, yang dapat
dikonstruksi sebagai gejala yang dimulai dari kecenderungan untuk melupakan
atau ketidakmampuan untuk menggerakkan memori dan menemukan kebenaran dan
hal-hal yang esensial. Uniknya, sebagaimana diungkap oleh Schaal, kata letargi
secara etimologi juga memiliki kesamaan dengan kata Aletheiayang dalam bahasa
Yunani berarti kebenaran. Huruf a di awal kata a-letheiabermakna bukan atau
tidak tersembunyi. Aletheia dengan demikian bisa berarti penyingkapan atau kebenaran.
Kebenaran dengan demikian berkaitan secara erat dengan penolakan untuk
melupakan (alethe).
Dengan itu, letargi secara prinsipiil adalah kecenderungan
untuk menerima segala hal apa "adanya", apa yang disajikan secara
mentah, bahkan menerima apa-apa yang sebenarnya keliru dan bertentangan dengan
pendirian-pendirian kita. Di dalam letargi, kita sebenarnya sudah menyerah
kepada keadaan, tapi kita berpura-pura terlibat dan antusias di dalamnya. Di
dalam letargi, seluruh daya aktivitas kita dimulai bukan dengan bagaimana
mengupayakan apa yang benar, melainkan dimulai dengan apa yang sekadar kita
bisa dari yang ada. Itulah sebabnya, Schaal menyebut letargi sebagai kelelahan
dan kemalasan mental untuk mencapai kebenaran dan kualitas. Itu sebabnya pula,
sejarawan menyebut letargi sebagai gejala runtuhnya peradaban. Perilaku politik
Salah satu ciri letargi dalam kebudayaan terlihat dalam sulitnya mempertahankan
suatu karakter dalam perilaku politik dan berdemokrasi kita.
Demokrasi politik
di Indonesia dihidupkan oleh perilaku politik yang serba cair atau lentur
(fluid). Dengan itu, harmoni dicapai melalui serah terima dan tukar tambah
kepentingan secara ad hoc, bukan dari hasil konfrontasi ide dan gagasan.
Uniknya, perilaku ini diterima secara mentah-mentah dalam diskursus publik
secara umum. Perilaku "mencla-mencle" dalam politik diterima sebagai
kewajaran. Dengan begitu, rakyat kebanyakan tidak pernah dididik berpolitik di
dalam gagasan. Tanpa gagasan, rakyat akan dengan mudah melupakan. Tanpa gagasan,
politik tidak akan pernah dialami sebagai perjuangan, melainkan hanya sebatas
pilihan-pilihan instan. Akibatnya, demokrasi politik kita tidak pernah
mengalami kemajuan. Yang terjadi dalam demokrasi kita adalah sejenis
"obesitas" politik, bobotnya bertambah, riuhnya meningkat, tapi ia
bukan makin sehat, melainkan makin ke arah risiko ambruk. Guru-guru di
sekolah-sekolah di seluruh Indonesia diminta mengajarkan pendidikan karakter,
tetapi politik kita, pada saat yang sama, mengajarkan bagaimana cara
mengkhianati karakter dengan sukses, untuk saat ini "politik" yang
menang.
ROBERTUS ROBET Sosiolog Universitas Negeri Jakarta Versi cetak artikel
ini terbit di harian Kompas edisi 4 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul
"Letargi Kebudayaan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar