KEKERASAN SEKSUAL PEREMPUAN
WUJUD IDE SOLUSI HASIL DARI DEOLOGI PATRIAKI
OLEH : LALIS NURHAYATI
A. KEKERASAN SEKSUAL PEREMPUAN
Semakin meningkatnya kekerasan seksual perempuan sudah termasuk kedalam satu kejahatan extraordinary crime, dimana ada perempuan disitu ada kekerasan. kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan merupakan sebuah terminologi yang sarat dengan arti dan makna
“derita”, baik dikaji dari perspektif psikologik maupun hukum, bahwa di
dalamnya terkandung perilaku manusia (seseorang/kelompok orang) yang
dapat menimbulkan penderitaan bagi orang lain, (pribadi/ kelompok).
Tindak kekerasan atau “violence” oleh Jerome Skolncik didefinsikan sebagai “... an ambiguous term whose meaning is established throught political process”. Dalam arti tingkah laku, Michael Levi lalu menyebutkan kekerasan sebagai “... its content and cuase are socially constructed”. Dari pandangan demikian, tampaknya perumusan tindak kekerasan sangat
terkait dengan tingkah laku manusia yang bersifat kejam dan tidak
manusiawi, namun tidak jelas apakah perumusan itu juga menampung
aspirasi kaum minoritas (perempuan dan anak) yang selama ini rentang
terhadap kekerasan.
Kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan merupakan salah satu
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang paling umum di seluruh dunia. Di
Indonesia, setiap hari sebanyak 12 perempuan telah mengalami kekerasan
baik secara seksual, fisik, psikologis, maupun ekonomis. Menurut data
Komisi Nasional Perempuan, pada tahun 2014 kekerasan terhadap perempuan
di ranah personal mencapai 8.626 kasus dengan 3 kasus terbanyak meliputi
kekerasan terhadap istri (5.102 kasus atau 59%), kekerasan dalam
pacaran (1.748 kasus atau 21%), kekerasan terhadap anak perempuan (843
kasus atau 10%).
Ada berbagai macam bentuk kekerasan terhadap perempuan dan
anak perempuan yang terjadi di Indonesia, di antaranya: (1)perkosaan,
(2)intimidasi seksual, (3)pelecehan, (4)pemaksaan kehamilan,
(5)pemaksaan perkawinan, (5)pemaksaan penggunaan kontrasepsi,
(6)pemaksaan aborsi, (7)tindakan-tindakan diskriminatif berbasis gender.
Pada kelompok muda, kekerasan dapat terjadi dalam relasi berpacaran,
praktik perdagangan anak perempuan, sampai dengan bentuk-bentuk tradisi
yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan.
Pada tahun 1993 Sidang Umum PBB mengadopsi deklarasi yang menentang
kekerasan terhadap perempuan yang telah dirumuskan tahun 1992 oleh Komisi Status Perempuan PBB,
di mana dalam pasal 1 disebutkan bahwa, “kekerasan terhadap perempuan
mencakup setiap perbuatan kekerasan atas dasar perbedaan kelamin, yang
mengakibatkan atau dapat mengakibatkan kerugian atau penderitaan
terhadap perempuan baik fisik, seksual maupun psikhis, termasuk ancaman
perbuatan tersebut, paksaan dan perampasan kemerdekaan secara
sewenang-wenang, baik yang terjadi dalam kehidupan yang bersifat publik
maupun privat”.
Ceritera tentang korban tindak kekerasan dikalangan perempuan dan anak
memang sedikit sekali ditemukan di dalam berbagai literatur yang ada,
karena itu jarang terungkap bahwa viktimisasi terhadap perempuan melalui
tindak kekerasan diajukan ke peradilan pidana. Masalahnya mungkin pada
persepsi masyarakat, baik secara keseluruhan maupun kaum perempuan itu
sendiri, bahwa kekerasan yang dialaminya adalah lebih baik untuk
disembunyikan saja. Ini tentu ada kaitannya dengan nilai-nilai yang
berkembang dalam masyarakat mengenai kedudukan perempuan selama ini
dalam masyarakat. Kalangan perempuan terkadang menyembunyikan
viktimisasi terhadap dirinya karena berbagai alasan, namun yang utama
adalah karena mereka tidak ingin dirinya diketahui orang lain atau
mungkin akan mencoreng harga sendiri, terlepas dari ada tidaknya
konstribusi perempuan terhadap tindak kekerasan yang dialaminya.
masih ingatkah kita dengan kasus kekerasan seksual yang menimpa Yuyun gadis berusai 12 tahun yang diperkosa oleh 12 orang laki-laki sampai yuyun tewas dan mengalami beberapa luka di dalam tubuhnya diakibatkan oleh kekerasan tersebut. dan setelah itu ada kasus yang paling membuat hati semakin menjerit dan ulukuduk berdiri yaitu kasusu Eno yang mengalami kekerasan seksual yang diperkosa oleh 3 orang laki-laki dan dibunuh secara keji dengan cara memasukan cangkul melalui alat kelaminnya yang kedalamnya sampai merusak organ hatinya. kasus ini membuka mata kita bahwa keadilan dan perlindungan terhadap perempuan di negeri ini masih sangatlah rendah. fenomena kekerasan ini banyak yang masih belum terungkap diluar sana ibarat fenomen gunung es.
Bentuk kekerasan (violence) terhadap perempuan ini merupakan
konsekuensi logis dari sterotype terhadapnya. Perempuan adalah komunitas
yang rentan dan potensial untuk berposisi sebagai korban dari kesalahan
pencitraan terhadapnya atau kekerasan yang terjadi akibat bias gender
yang dalam literature feminism lazim dikenal sebagai gender-related
violence, yang berbentuk perkosaan terhadap perempuan termasuk di
dalamnya kekerasan dalam perkawinan (marital rape), aksi pemukulan dan
serangan non-fisik dalam rumah tangga, penyiksaan yang mengarah pada
organ alat kelamin (misalnya sirkumsisi), prostitusi, pornografi,
pemaksaan sterelisasi dalam keluarga berencana dan kekerasan seksual
(sexual harassment).
B. Wujud Ide Solusi Hasil dari Ideologi Patriarki
Diskursus gender masih didominasi mengenai konsep perbedaan peran dan
antara laki-laki dan perempuan. Perdebatannya bukan semata fokus
pada pelaku (laki-laki dan perempuan), namun lebih kepada sistem dan
struktur budaya patriarki. Hal ini berawal dari konsepsi gender yang
memiliki karakter produksi dan konstruksi budaya yang sifatnya dinamis.
Sistem budaya patriarki yang melandasi aspek identitas, subjektivitas
dan seksulitas ini mengalami reduktivitas yang menghasilkan stereotip
bahwa perempuan adalah makluk yang lemah lembut, cantik, emosional,
pasif dan keibuan, sedangkan laki-laki adalah makhluk yang kuat,
agresif, dan perkasa. Adanya pencitraan tersebut dapat menimbulkan
kesan diskriminasi terhadap kaum perempuan.
Secara umum maskulinitas sendiri merupakan konsep yang terbuka, bukan
merupakan identitas tetap dan monolitis yang terpisahkan dari pengaruh
ras, kelas dan budaya, melainkan dalam sebuah jarak identitas yang
kontradiktif. Menurut Mansour Fakih, maskulinitas tidak dapat dipisahkan dengan konsep
gender yang melatari dimensi soial dan budaya, dimana gender dibangun
berdasarkan konstruksi sosial maupun kulutural manusia. Perbedaan fisik
tersebut akhirnya membangun perbedaan-perbedaan psikologis yang kemudian
disosialisasikan dan diperkuat melalui pembelajaran lingkungan.
Misalnya bayi perempuan yang baru lahir diberikan perlengkapan dengan
nuansa warna merah muda, sedangkan bayi laki-laki yang lahir diberikan
perlengkapan dengan nuansa warna biru muda. Perbedaan lainnya terdapat
pada pola pengasuhan, misalnya anak perempuan diberikan mainan boneka
ataupun permainan yang beresiko rendah, sedangkan anak laki-laki
diberikan mainan mobil-mobilan, tembak-tembakan ataupun permainan yang
beresiko tinggi. Hal ini terus berlanjut sampai kepada pertumbuhan
mental hingga dewasa.
a. Miras Sebagai Penyebab dan Undang-undang Pelarangan Miras sebagai Jawaban
Menjawab persoalan maraknya kekerasan seksual dengan menyimpulkan
bahwa kekerasan seksual terjadi karena minuman keras, dan menganggap
solusinya adalah dengan menerbitkan Undang-undang (UU) yang melarang
minuman keras (Miras). Pemikiran tersebut sama saja mengingakari fakta
yang ada di mana pelaku kekerasan seksual ketika melakukan aksinya
banyak yang tidak dibawah pengaruh minuman keras.
Lalu mengapa kesimpulan dan ide itu bisa lahir bahkan dari mereka
yang bekerja di lembaga yang semestinya memahami akar masalah kekerasan
seksual? Itu tidak lepas dari konstruksi patriarki yang membentuk kita
sedari kecil hingga saat ini. Tapi bukankah orang dibawah pengaruh miras
bisa berbuat di luar kendali? Secara medis itu dibenarkan, tetapi fokus
dan solusi semestinya bukan hanya pada miras, karena yang paling
berperan adalah konstruksi budaya patriarki yang mendudukan laki-laki
sebagai manusia nomor satu, sehingga ia menguasai jalanan (ranah
publik), dianggap wajar bila menenggak minuman keras, dianggap wajar
bila menggoda dan menyakiti perempuan. Sementara sebaliknya, budaya
patriarki justru membentuk perempuan menjadi manusia kelas dua, liyan, dan bila keluar rumah sendirian dianggap bukan perempuan baik-baik dan dianggap sebagai pemicu laki-laki menggodanya.
Konstruksi patriarki atau budaya yang mengedepankan kepentingan
laki-laki dan mendiskriminasi perempuan, telah membentuk ideologi
tersendiri pada ide dan perilaku laki-laki yang masih belum menyadari
akan bahaya budaya patriarki bagi kaum perempuan. Salah satu bahaya yang
kerap muncul akibat budaya patriarki ialah laki-laki merasa pantas dan
wajar menggoda hingga menyerang perempuan. Itu terjadi karena ideologi
patriarki men-setup alam bawah sadar laki-laki untuk meyakini dan
berperilaku sebagai penguasa jalanan (ranah publik), jagoan, tidak kenal
rasa takut, yang kesemuanya diimplementasikan dengan cara menstigma
perempuan yang keluar rumah sendirian, lalu diiringi dengan perilaku
menggodanya hingga menyerang. Selain itu rokok, miras, bahkan
obat-obatan terlarang, bagi laki-laki yang mendijadikan ketiganya
sebagai standar untuk mengukur kemachoan laki-laki, akan menjadi sajian
bila mereka tengah berkumpul.
b. Hukum Kebiri
Memberi jawaban hukum kebiri bagi pelaku kekerasan seksual, sama saja
menyimpulkan bahwa kekerasan seksual hanya dilakukan dengan menggunakan
kelamin saja. Selain itu ada asumsi bila pelaku dikebiri, selain untuk
efek jera, juga untuk mengantisipasi pelaku melakukan perbuatannya di
kemudian hari. Padahal kepuasan seksual bisa didapat dari aktifitas yang
selain menggunakan kelamin.
Lalu mengapa ide kebiri bisa hadir? Hal itu muncul selain karena
menganggap persoalan seksualitas sangat sederhana, yakni hanya sebatas
penetrasi penis, juga bisa menjadi bumerang bagi korban kekerasan yang
ingin menuntut keadilan. Kalau kekerasan seksual hanya disimpulkan bila
ada penetrasi penis, maka korban kekerasan seksual yang dilecehkan
dengan cara diraba atau dengan cara lainnya akan dianggap bukan sebagai
kekerasan seksual.
Ide kebiri selain menyederhanakan masalah, juga karena penis dianggap
sebagai simbol keperkasaan dan eksistensi laki-laki sejati. Karenanya
mengapa Viagra (obat kuat laki-laki), jasa membesarkan ukuran penis dan
jasa menyembuhkan impotensi banyak diminati. Dengan kata lain ideologi
patriarki telah mempengaruhi alam bawah sadar atas lahirnya ide kebiri
yang meyakini, bahwa, untuk membuat laki-laki terpuruk adalah dengan
merampas simbol keperkasaannya, yakni dengan cara kebiri.
Mendidik Laki-laki untuk Menghormati Perempuan
Memberikan pemahaman dan pembiasaan melalui praktek sehari-hari dapat
dimulai dari lingkungan keluarga tentang bagaimana semestinya relasi
yang baik dan benar bagi seorang laki-laki terhadap perempuan, termasuk
didalamnya ialah pemahaman untuk tidak melakukan kekerasan seksual. Pola
asuh dalam keluarga agar anak laki-laki menghormati perempuan, akan
menjadi basis bagi anak laki-laki ketika ia mulai berbaur dalam
kehidupan sosial yang lebih luas. Karenanya akan semakin efektif bila
lembaga pendidikan, baik formil dan non formil juga turut memberikan
pemahaman tentang bagaimana menjadi laki-laki yang menghormati perempuan
dan tidak melakukan kekerasan seksual. Efektifitas akan kian terasa
manakala dalam dunia kerja juga menerapkan persaingan karir berdasarkan
kompentensi, bukan jenis kelamin, dan penarapan peraturan ketat terkait
larangan perilaku yang merendahkan dan melecehkan perempuan.
Mengharapkan adanya peran dunia pendidikan dan jangkauan yang lebih
luas lagi dalam menekan kekerasan seksual, tentunya harus ada peran
Negara dalam hal ini pemerintah. Selain mengintervensi dunia pendidikan,
pemerintah juga harus mengintervensi pejabat dan aparat penegak hukum
agar terbebas dari bias ketika terjadi dan tengah menangani kasus-kasus
kekerasan seksual.
Sanksi Sosial
Nur Iman Subono, dalam Jurnal Perempuan 64, menyatakan perlu ada
keterlibatan masyarakat terutama laki-laki agar tidak menjadi mayoritas
yang diam dalam menyikapi persoalan ketidakadilan berbasis gender,
terutama pada kekerasan seksual yang selalu berulang. Sebagaimana
kutipan Nur Iman Subono pada tesisnya Kaufman, kekerasan terhadap
perempuan yang dilakukan laki-laki selalu berulang karena masyarakat
menganggap hal itu sebagai sesuatu yang wajar (permisif). Hal demikian
terjadi (dianggap wajar) adalah bagian dari hak istimewa menjadi
laki-laki, dan itu (hak istimewa) merupakan hasil dari konstruksi budaya
patriarki.
Untuk itu sebagai manusia yang memiliki empati, rasional, dan rasa
tanggung jawab, sudah semestinya menerapkan sanksi sosial kepada pelaku
dan menjadikan itu sebagai “belenggu” bagi pelaku atas apa yang ia
perbuat. Jenis sanski sosial yang dimaksud salah satunya ialah dengan
memberikan label pada pelaku sebagai orang yang pernah melakukan
kekerasan seksual. Reputasinya sebagai pelaku kekerasan seksual akan
menjadi label pada kehidupan sosialnya sehari-hari. Tapi apakah sanksi
sosial berlebihan? Bila kembali pada derita korban yang ia akan alami
seumur hidup, maka sanksi sosial bagi pelaku kekerasan seksual tidaklah
berlebihan.
Selain itu, sanksi sosial juga akan menjadi ring kedua bila putusan
pengadilan justru tidak berpihak pada korban. Hal itu (putusan perkara
yang tidak adil) pernah dilakukan seorang hakim di Montana, Amerika
Serikat, Todd Baugh. Selain ia memvonis pelaku kekerasan seksual hanya
30 hari, dan sang Hakim juga turut menyalahkan korban, yang menurutnya
korban yang usianya 14 tahun dalam kondisi mengendalikan situasi, dan
sang hakim menganggap hubungan dilakukan suka sama suka.
Kasus Yuyun diatas merupakan salahsatu bentuk ketidakadilan gender.
Pada saat ini mungkin tidak disadari secara mendalam banyak pelecehan
yang diucapkan oleh laki-laki karena tidak semua orang memiliki
sensitivitas yang sama terhadap persoalan gender. Oleh karena itu,
gender sebagai kesadaran social penting adanya, dalam kerangka
memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender pada setiap level. Dan
tentunya agar kasus-kasus seperti kasus Nurhayati ini tidak terulang
kembali karena kita adalah mahluk social yang harus saling menghargai
dan menghormati. Meskipun secara biologis peran laki-laki dan perempuan
berbeda, namun secara social masing-masing mempunyai hak untuk tidak di
diskriminasikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar