Jumat, 08 Januari 2016

PENGEMIS DALAM KACAMATA DRAMATURGI



 PENGEMIS DALAM KACAMATA DRAMATURGI
OLEH : LALIS NURHAYATI
Dewasa ini, pemandangan akan kemiskinan semakin marak di Indonesia, bahkan dikatakan sudah menjadi penyakit yang tak kunjung sembuh, hal tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia saja namun hampir mendominasi Negara-negara berkembang. Menurut Kotze (dalam Hikmat, 2004:6) menyatakan bahwa masyarakat miskin memiliki kemampuan yang relatif baik untuk memperoleh sumber melalui kesempatan yang ada. Kendatipun bantuan luar kadang -kadang digunakan, tetapi tidak begitu saja dapat dipastikan sehingga masyarakat bergantung pada dukungan dari luar. Pendekatan pemberdayaan ini dianggap tidak berhasil karena tidak ada masyarakat yang dapat hidup dan berkembang bila terisolasi dari kelompok masyarakat lainnya.  Pengisolasian ini menimbulkan sikap pasif, bahkan keadaan menjadi semakin miskin.
Seiring dengan berkembangnya modernisme, maka semakin terlihat strata sosial yang ada di masyarakat, dari mulai food, fashion, itu semua membentuk sebuah karakteristik yang mengekang mental masyarakat, karena dorongan ingin semakin mencapai kasta tertentu, tak sedikit menggunakan cara yang tidak berdasarkan logika dan perasaan. Baik itu dominasi perasaan atau dominasi logika yang terjadi. Begitulah tuntutan kapital, sepertu halnya dianalogikan dalam film “Hunger Games” dimana seorang kapital mempunyai tangan pengendali atas rakyatnya seakan-akan rakyat tidak punya kehidupan dan itu semua dibeli dengan Cuma-Cuma. Tak jauh beda ibarat seekor sapi perah. Demi mendapatkan kehidupan tersebut seseorang rela menggadaikan logika dan perasaan nya demi satu lembar mata uang yang dianggap berharga untuk membeli semua yang diinginkan gar menjadi seorang game maker yang syarat akan otoriter kekuasaan untuk rakyatnya.
 Wajah pengemis, image yang terbentuk adalah  rasa iba, simpatik untuk memberi dan erat akan potret kemiskinan. Pengemis banyak menjamur utamanya di kota-kota besar, motivasi seseorang untuk menjadi pengemis jelas untuk bertahan hidup (survive), dengan hanya mengulurkan tangan dengan dibumbuhi statemen-statemen yang membuat seseorang iba untuk melihatnya, tak hanya itu, dengan menampilkan kekurang fisik yang ada padanya tak elak mengiris hati yang melihatnya. Namun semua itu nyatakah atau rekayasa?
Permasalahan diatas bisa kita analisi dengan menggunakan teori Dramaturgi dari Erving Goffeman seorang Sosiolog.  Fokus pendekatan dramaturgis adalah bukan apa yang orang lakukan, bukan apa yang ingin mereka lakukan, atau mengapa mereka melakukan, melainkan bagaimana mereka melakukannya. Berdasarkan pandangan Kenneth Burke bahwa pemahaman yang layak atas perilaku manusia harus bersandar pada tindakan, dramaturgi menekankan dimensi ekspresif/impresif aktivitas manusia. Burke melihat tindakan sebagai konsep dasar dalam dramatisme. Burke memberikan pengertian yang berbeda antara aksi dan gerakan. Aksi terdiri dari tingkah laku yang disengaja dan mempunyai maksud, gerakan adalah perilaku yang mengandung makna dan tidak bertujuan. Masih menurut Burke bahwa seseorang dapat melambangkan simbol-simbol. Seseorang dapat berbicara tentang ucapan-ucapan atau menulis tentang kat-kata, maka bahasa berfungsi sebagai kendaraan untuk aksi. Karena adanya kebutuhan sosial masyarakat untuk bekerja sama dalam aksi-aksi mereka, bahasapun membentuk perilaku.
Dramaturgi menekankan dimensi ekspresif/impresif aktivitas manusia, yakni bahwa makna kegiatan manusia terdapat dalam cara mereka mengekspresikan diri dalam interaksi dengan orang lain yang juga ekspresif. Oleh karena perilaku manusia bersifat ekspresif inilah maka perilaku manusia bersifat dramatik.
Pendekatan dramaturgis Goffman berintikan pandangan bahwa ketika manusia berinteraksi dengan sesamannya, ia ingin mengelola pesan yang ia harapkan tumbuh pada orang lain terhadapnya. Untuk itu, setiap orang melakukan pertunjukan bagi orang lain. Kaum dramaturgis memandang manusia sebagai aktor-aktor di atas panggung metaforis yang sedang memainkan peran-peran mereka. Burce Gronbeck memberikan sketsa tentang ide dasar dramatisme seperti pada gambar berikut (Littlejohn, 1996:166): 
Menurut Goffman kehidupan sosial itu dapat dibagi menjadi “wilayah depan” (front region) dan “wilayah belakang” (back region). Wilayah depan merujuk kepada peristiwa sosial yang menunjukan bahwa individu bergaya atau menampilkan peran formalnya. Mereka sedang memainkan perannya di atas panggung sandiwara di hadapan khalayak penonton. Sebaliknya wilayah belakang merujuk kepada tempat dan peristiwa yang yang memungkinkannya mempersiapkan perannya di wilayah depan. Wilayah depan ibarat panggung sandiwara bagian depan (front stage) yang ditonton khalayak penonton, sedang wilayah belakang ibarat panggung sandiwara bagian belakang (back stage) atau kamar rias tempat pemain sandiwara bersantai, mempersiapkan diri, atau berlatih untuk memainkan perannya di panggung depan.
 Kembali lagi pada objek yaitu pengemis, bahwa mereka mempunyai dua sisi kehidupan yaitu pangunng depan dan panggung belakang. tak sedikit kondisi real dari pada mereka adalah orang mampu dan berkecukupan. namun karena melihat dari pada gambaran kondisi manusia saat ini. lebih memilih ikan dari pada kail, yang dimana analogi tersebut mencerminkan sebuah kemalasan dan secara tidak langsung ,menghilangkan proses yang semestinya dijalani. Begitulah gambaran pengemis dalam kacamata dramaturgi bahwa interaksi serta peran yang mereka mainkan di panggung depan dan akan berbeda ketika kembali pada panggung belakang. 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kumpulan artikel yang di buat oleh saya sendiri dan opini, ertikel yang saya muat ulang dari koran