Jumat, 14 Oktober 2016

REFILOSOFI KEBUDAYAAN PERGESERAN PASCASTRUKTURAL ( STUDY OF CULTURE, CULTURAL STUDIES )



REFILOSOFI KEBUDAYAAN
PERGESERAN PASCASTRUKTURAL
( STUDY OF CULTURE, CULTURAL STUDIES )

Dari aras filosofis, yakni nilai, maka kebudayaan kemudian terbumikan pada praksis kehidupan. Inilah yang menggeret persoalan budaya pada domain antropologis; satu domain yang menahbiskan suatu pengkajian asa budaya. Dalam model ini, kebudayaan menjadi objek, yang mana sang peneliti menjadi subjek pengkaji. Satu hal yang berbeda dengan cultrural studies, yang mana bahkan studi budaya telah dilihat sebagai cara penguasaan epistemic atas masyarakat.
Di sini, kekhawatiran filsafat akan non-filosofisnya ilmu budaya, tak sepenuhnya terjadi. Disebabkan dalam berbagai studi tersebut, terdapat kegelisahan normatif yang mempertanyakan apa nilai kebudayaan. ini yang berusaha diklarifikasi oleh ahimsa putra atas tesis bekker yang menambatkan simbiolisme kognitif menyediakan jembatan kreatif bagi manusia untuk mengolah ulang alam sesuai dengan kemanusiaan. Misal sederhna terletak pada pembedaan insting dan nilai, yang membuat manusia tidak hanya berdasar hasrat seksual ketika berhadapan dengan lawan jenis, tetapi ia terbatasi oleh nilai (agama dan nilai sosial) yang mengeram serta mengarahkan.
pda titik ini, konsep manusia sebagai mahluk simbolik menjadi penting. Konsep ini menentang konsep manusia yang di determinsai oleh daya atau stimulan eksternal, yang mana naturalisme telah menghabiskan adanya realitas material ekstrenal yang berjalan secara deterministik, independen dari subjek. Disini manusia tidak berhadapan dengan dunia fisik selayaknya hewan. ia mampu mengambil jarak dengan realitas karena memiliki subtratum simbolik dibenaknya, yang membuat ia mampu melakukan refleksi atas stimulan eksternal. 
Ia tidak mempresentasikan realitas seperti adanya, tetapi memiliki kapasitas untuk mengolah realitas itu menjadi simbol kultural, seperti bahasa, agama, seni dan ilmu pengetahuan. relitas tidak sama dengan sensasi indrawi karena ia tidak pernah terberi. melainkan merupakan rajutan simbolik kretaivitas.  Aspek representasi simbolik menjadi pembeda karena dengan hal tersebut manusia memiliki filter untuk menyaring dunia sekaligus mengendalikan aspek instingtif yang menyamakan dengan binatang. 
Pada ranah manusia mempertahankan identitasnya, ranah ini mengacu pada aktivitas yang fungsi primernya adalah mendefinisikan dan membatasi status manusia atau ekspresi yang hendak mewujudkan makna manusia atau ekspresi yang hendak mewujudkan makana manusia melalui simbol. aspek pertahanan identitas ini menjadi penting sebab ketika ranah mempertahankan kehidupan hanya melihat berfungsinya ritual untuk berdaptasi dengan lingkungan, maka kerja mempertahankan identitas merujuk pada panggalian jawaban, apa yang membuat ritual itu terjadi. 



Referesnsi: Arif Syaiful, 2010. Refilosofi Kebudayaan: AM Arruz Media . Jogjakarta

Kamis, 13 Oktober 2016

LATERGI KEBUDAYAAN

LATERGI KEBUDAYAAN



Letargi Kebudayaan (ROBERTUS ROBET) Mengapa kita begitu gampang melupakan, bahkan melupakan pandangan-pandangan dasar kita sendiri? Mengapa kita begitu mudah menggeser prinsip? Mengapa kita terus dengan mudah memberikan toleransi kepada pemimpin-pemimpin dan politisi yang berjanji, mengingkarinya, berjanji lagi dan mengingkarinya lagi? Mengapa kita dengan mudah tergoda dan beralih kepada idola-idola ketimbang berpikir secara serius dan mendalami mengenai apa-apa yang terpenting untuk mencapai kemaslahatan bersama? Mengapa kita dengan mudah memaklumi kesalahan dan kejahatan publik yang sebenarnya serius, bahkan kemudian sering malah berbaris meletakkan diri kita di bawahnya? Mengapa kita sering gagal bertindak dalam standar etis dan dengan mudah jatuh ke dalam hipokrisi? Barangkali kita tengah mengalami gejala letargi kebudayaan. 

Letargi secara leksikal sering diterjemahkan sebagai "kelelahan". Letargi dialami masyarakat Amerika pada tahun 1990-an awal dengan ciri-ciri meluasnya perilaku malas, di mana orang lebih banyak menghabiskan waktu di depan TV, berleha-leha, gaya hidup asal-asalan, tidak memiliki disiplin dan tujuan hidup (Daniel W Rosided, 1993: hal 488). Gejala-gejala fisik serupa juga terjadi di Inggris pada masa pasca Perang Dunia II. Intinya, penelitian sosiologi menyoroti gejala letargi sebagai bentuk-bentuk perilaku sosial di dalam masyarakat di mana apati meluas dan banyak orang menjadi tidak produktif, serba putus asa, tanpa gairah. Namun, teolog Amerika, James V Schaal, memiliki definisi yang lebih luas dan lebih tepat untuk menjelaskan letargi sebagai gejala historis dalam kebudayaan ketimbang hanya persoalan dalam perilaku sebagaimana ditafsirkan oleh sosiologi tingkah laku. 

Dalam pandangan Schaal, letargi lebih merujuk pada kelelahan secara mental, bukan kelelahan fisik dan bukan semata-mata persoalan perilaku. Letargi menyangkut kemunduran yang lebih subtil, yakni tanda dari mulainya gejala kemerosotan dalam peradaban, kemandulan dalam dunia intelektual, kemandekan dalam politik dan sosial (James V Schaal SJ, 2014). Secara fisik kita mungkin aktif, bergerak ke sana-kemari, berkunjung ke pihak-pihak, menulis, menjadi relawan ini dan itu, anggota partai politik, tetapi secara mental kita mentok dan kering gagasan. 

Letargi kebudayaan membuat kita gagal menggerakkan kapasitas mental untuk mencari alternatif-alternatif yang paling optimum untuk mengatasi keburukan. Akibatnya, kita menghabiskan tindakan untuk menutup satu keburukan besar melalui akumulasi keburukan-keburukan yang lebih kecil. Awal runtuhnya peradaban Kita terlampau payah untuk secara maksimum mencari yang terbaik untuk masyarakat. Letargi membuat kita jatuh dalam kecendrungan untuk "asal ada saja" atau "yang penting bukan dia", bukannya berpikir melampaui dan mencari apa atau siapa yang terbaik untuk masyarakat kita dan bertahan dalam ideal itu. Ketiadaan upaya untuk mencari yang terbaik secara optimum adalah awal dari merosotnya peradaban. Istilah letargi sendiri berasal dari katalethe, yakni salah satu nama sungai dari empat sungai yang disebut-sebut dalam mitologi Yunani, yang dapat dikonstruksi sebagai gejala yang dimulai dari kecenderungan untuk melupakan atau ketidakmampuan untuk menggerakkan memori dan menemukan kebenaran dan hal-hal yang esensial. Uniknya, sebagaimana diungkap oleh Schaal, kata letargi secara etimologi juga memiliki kesamaan dengan kata Aletheiayang dalam bahasa Yunani berarti kebenaran. Huruf a di awal kata a-letheiabermakna bukan atau tidak tersembunyi. Aletheia dengan demikian bisa berarti penyingkapan atau kebenaran. Kebenaran dengan demikian berkaitan secara erat dengan penolakan untuk melupakan (alethe). 

Dengan itu, letargi secara prinsipiil adalah kecenderungan untuk menerima segala hal apa "adanya", apa yang disajikan secara mentah, bahkan menerima apa-apa yang sebenarnya keliru dan bertentangan dengan pendirian-pendirian kita. Di dalam letargi, kita sebenarnya sudah menyerah kepada keadaan, tapi kita berpura-pura terlibat dan antusias di dalamnya. Di dalam letargi, seluruh daya aktivitas kita dimulai bukan dengan bagaimana mengupayakan apa yang benar, melainkan dimulai dengan apa yang sekadar kita bisa dari yang ada. Itulah sebabnya, Schaal menyebut letargi sebagai kelelahan dan kemalasan mental untuk mencapai kebenaran dan kualitas. Itu sebabnya pula, sejarawan menyebut letargi sebagai gejala runtuhnya peradaban. Perilaku politik Salah satu ciri letargi dalam kebudayaan terlihat dalam sulitnya mempertahankan suatu karakter dalam perilaku politik dan berdemokrasi kita. 

Demokrasi politik di Indonesia dihidupkan oleh perilaku politik yang serba cair atau lentur (fluid). Dengan itu, harmoni dicapai melalui serah terima dan tukar tambah kepentingan secara ad hoc, bukan dari hasil konfrontasi ide dan gagasan. Uniknya, perilaku ini diterima secara mentah-mentah dalam diskursus publik secara umum. Perilaku "mencla-mencle" dalam politik diterima sebagai kewajaran. Dengan begitu, rakyat kebanyakan tidak pernah dididik berpolitik di dalam gagasan. Tanpa gagasan, rakyat akan dengan mudah melupakan. Tanpa gagasan, politik tidak akan pernah dialami sebagai perjuangan, melainkan hanya sebatas pilihan-pilihan instan. Akibatnya, demokrasi politik kita tidak pernah mengalami kemajuan. Yang terjadi dalam demokrasi kita adalah sejenis "obesitas" politik, bobotnya bertambah, riuhnya meningkat, tapi ia bukan makin sehat, melainkan makin ke arah risiko ambruk. Guru-guru di sekolah-sekolah di seluruh Indonesia diminta mengajarkan pendidikan karakter, tetapi politik kita, pada saat yang sama, mengajarkan bagaimana cara mengkhianati karakter dengan sukses, untuk saat ini "politik" yang menang. 

ROBERTUS ROBET Sosiolog Universitas Negeri Jakarta Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul "Letargi Kebudayaan".


Rabu, 12 Oktober 2016

KEKERASAN SEKSUAL ANAK DAN PEREMPUAN : WUJUD IDE SOLUSI HASIL DARI IDEOLOGI PATRIAKI

KEKERASAN SEKSUAL  PEREMPUAN 
WUJUD IDE SOLUSI HASIL DARI DEOLOGI PATRIAKI 

OLEH : LALIS NURHAYATI

             
A. KEKERASAN SEKSUAL PEREMPUAN

Semakin meningkatnya kekerasan seksual perempuan sudah termasuk kedalam satu kejahatan extraordinary crime, dimana ada perempuan disitu ada kekerasan. kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan merupakan sebuah terminologi yang sarat dengan arti dan makna “derita”, baik dikaji dari perspektif psikologik maupun hukum, bahwa di dalamnya terkandung perilaku manusia (seseorang/kelompok orang) yang dapat menimbulkan penderitaan bagi orang lain, (pribadi/ kelompok).

Tindak kekerasan atau “violence” oleh Jerome Skolncik didefinsikan sebagai “... an ambiguous term whose meaning is established throught political process”. Dalam arti tingkah laku, Michael Levi  lalu menyebutkan kekerasan sebagai “... its content and cuase are socially constructed”. Dari pandangan demikian, tampaknya perumusan tindak kekerasan sangat terkait dengan tingkah laku manusia yang bersifat kejam dan tidak manusiawi, namun tidak jelas apakah perumusan itu juga menampung aspirasi kaum minoritas (perempuan dan anak) yang selama ini rentang terhadap kekerasan. 

Kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan merupakan salah satu pelanggaran Hak Asasi Manusia yang paling umum di seluruh dunia. Di Indonesia, setiap hari sebanyak 12 perempuan telah mengalami kekerasan baik secara seksual, fisik, psikologis, maupun ekonomis. Menurut data Komisi Nasional Perempuan, pada tahun 2014 kekerasan terhadap perempuan di ranah personal mencapai 8.626 kasus dengan 3 kasus terbanyak meliputi kekerasan terhadap istri (5.102 kasus atau 59%), kekerasan dalam pacaran (1.748 kasus atau 21%), kekerasan terhadap anak perempuan (843 kasus atau 10%).

Ada berbagai macam bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan yang terjadi di Indonesia, di antaranya: (1)perkosaan, (2)intimidasi seksual, (3)pelecehan, (4)pemaksaan kehamilan, (5)pemaksaan perkawinan, (5)pemaksaan penggunaan kontrasepsi, (6)pemaksaan aborsi, (7)tindakan-tindakan diskriminatif berbasis gender. Pada kelompok muda, kekerasan dapat terjadi dalam relasi berpacaran, praktik perdagangan anak perempuan, sampai dengan bentuk-bentuk tradisi yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan.
 
Pada tahun 1993  Sidang Umum PBB mengadopsi deklarasi yang menentang kekerasan terhadap perempuan yang telah dirumuskan tahun 1992 oleh Komisi Status Perempuan PBB, di mana dalam pasal 1 disebutkan bahwa, “kekerasan terhadap perempuan mencakup setiap perbuatan kekerasan atas dasar perbedaan kelamin, yang mengakibatkan atau dapat mengakibatkan kerugian atau penderitaan terhadap perempuan baik fisik, seksual maupun psikhis, termasuk ancaman perbuatan tersebut, paksaan dan perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi dalam kehidupan yang bersifat publik maupun privat”.
 
Ceritera tentang korban tindak kekerasan dikalangan perempuan dan anak memang sedikit sekali ditemukan di dalam berbagai literatur yang ada, karena itu jarang terungkap bahwa viktimisasi terhadap perempuan melalui tindak kekerasan diajukan ke peradilan pidana. Masalahnya mungkin pada persepsi masyarakat, baik secara keseluruhan maupun kaum perempuan itu sendiri, bahwa kekerasan yang dialaminya adalah lebih baik untuk disembunyikan saja. Ini tentu ada kaitannya dengan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat mengenai kedudukan perempuan selama ini dalam masyarakat. Kalangan perempuan terkadang menyembunyikan viktimisasi terhadap dirinya karena berbagai alasan, namun yang  utama adalah karena mereka tidak ingin dirinya diketahui orang lain atau mungkin akan mencoreng harga sendiri, terlepas dari ada tidaknya konstribusi perempuan terhadap tindak kekerasan yang dialaminya.
 
 masih ingatkah kita dengan kasus kekerasan seksual yang menimpa Yuyun gadis berusai 12 tahun yang diperkosa oleh 12 orang laki-laki sampai yuyun tewas dan mengalami beberapa luka di dalam tubuhnya diakibatkan oleh kekerasan tersebut. dan setelah itu ada kasus yang paling membuat hati semakin menjerit dan ulukuduk berdiri yaitu kasusu Eno yang mengalami kekerasan seksual yang diperkosa oleh 3 orang laki-laki dan dibunuh secara keji dengan cara memasukan cangkul melalui alat kelaminnya yang kedalamnya sampai merusak organ hatinya. kasus ini membuka mata kita bahwa keadilan dan perlindungan terhadap perempuan di negeri ini masih sangatlah rendah. fenomena kekerasan ini banyak yang masih belum terungkap diluar sana ibarat fenomen gunung es.  

Bentuk kekerasan (violence) terhadap perempuan ini merupakan konsekuensi logis dari sterotype terhadapnya. Perempuan adalah komunitas yang rentan dan potensial untuk berposisi sebagai korban dari kesalahan pencitraan terhadapnya atau kekerasan yang terjadi akibat bias gender yang dalam literature feminism lazim dikenal sebagai gender-related violence, yang berbentuk perkosaan terhadap perempuan termasuk di dalamnya kekerasan dalam perkawinan (marital rape), aksi pemukulan dan serangan non-fisik dalam rumah tangga, penyiksaan yang mengarah pada organ alat kelamin (misalnya sirkumsisi), prostitusi, pornografi, pemaksaan sterelisasi dalam keluarga berencana dan kekerasan seksual (sexual harassment).

B. Wujud Ide Solusi Hasil dari Ideologi Patriarki

Diskursus gender masih didominasi mengenai konsep perbedaan peran dan antara  laki-laki   dan   perempuan. Perdebatannya bukan semata fokus pada pelaku (laki-laki dan perempuan), namun lebih kepada sistem dan struktur budaya patriarki. Hal ini berawal dari konsepsi  gender yang memiliki karakter produksi dan konstruksi budaya yang sifatnya dinamis. Sistem budaya patriarki yang melandasi aspek identitas, subjektivitas dan seksulitas ini mengalami reduktivitas yang menghasilkan stereotip bahwa perempuan adalah makluk yang  lemah  lembut,  cantik, emosional, pasif dan keibuan, sedangkan laki-laki adalah  makhluk  yang  kuat,  agresif, dan perkasa. Adanya pencitraan tersebut  dapat menimbulkan  kesan diskriminasi  terhadap kaum perempuan.  

Secara umum maskulinitas sendiri merupakan konsep yang terbuka, bukan merupakan identitas tetap dan monolitis yang terpisahkan dari pengaruh ras, kelas dan budaya, melainkan dalam sebuah jarak identitas yang kontradiktif. Menurut Mansour Fakih, maskulinitas tidak dapat dipisahkan dengan konsep gender yang melatari dimensi soial dan budaya, dimana gender dibangun berdasarkan konstruksi sosial maupun kulutural manusia. Perbedaan fisik tersebut akhirnya membangun perbedaan-perbedaan psikologis yang kemudian disosialisasikan dan diperkuat melalui pembelajaran lingkungan. Misalnya bayi perempuan yang baru lahir diberikan perlengkapan dengan nuansa warna merah muda, sedangkan bayi laki-laki yang lahir diberikan perlengkapan dengan nuansa warna biru muda. Perbedaan lainnya terdapat pada pola pengasuhan, misalnya anak perempuan diberikan mainan boneka ataupun permainan yang beresiko rendah, sedangkan anak laki-laki diberikan mainan mobil-mobilan, tembak-tembakan ataupun permainan yang beresiko tinggi. Hal ini terus berlanjut sampai kepada pertumbuhan mental hingga dewasa.

Penguasaan atas ranah publik bukan saja dikuasai oleh laki-laki secara fisik, tetapi juga meliputi ide, sIstem yang terbangun, hingga tawaran dan putusan solusi penuh cita rasa laki-laki. Karenanya dengan mudah dapat dijumpai tawaran ide untuk mengantisipasi dan menghukum pelaku kekerasan seksual justru sangat jauh dari akar masalah, antara lain:

a. Miras Sebagai Penyebab dan Undang-undang Pelarangan Miras sebagai Jawaban
Menjawab persoalan maraknya kekerasan seksual dengan menyimpulkan bahwa kekerasan seksual terjadi karena minuman keras, dan menganggap solusinya adalah dengan menerbitkan Undang-undang (UU) yang melarang minuman keras (Miras). Pemikiran tersebut sama saja mengingakari fakta yang ada di mana pelaku kekerasan seksual ketika melakukan aksinya banyak yang tidak dibawah pengaruh minuman keras.

Lalu mengapa kesimpulan dan ide itu bisa lahir bahkan dari mereka yang bekerja di lembaga yang semestinya memahami akar masalah kekerasan seksual? Itu tidak lepas dari konstruksi patriarki yang membentuk kita sedari kecil hingga saat ini. Tapi bukankah orang dibawah pengaruh miras bisa berbuat di luar kendali? Secara medis itu dibenarkan, tetapi fokus dan solusi semestinya bukan hanya pada miras, karena yang paling berperan adalah konstruksi budaya patriarki yang mendudukan laki-laki sebagai manusia nomor satu, sehingga ia menguasai jalanan (ranah publik), dianggap wajar bila menenggak minuman keras, dianggap wajar bila menggoda dan menyakiti perempuan. Sementara sebaliknya, budaya patriarki justru membentuk perempuan menjadi manusia kelas dua, liyan, dan bila keluar rumah sendirian dianggap bukan perempuan baik-baik dan dianggap sebagai pemicu laki-laki menggodanya.

Konstruksi patriarki atau budaya yang mengedepankan kepentingan laki-laki dan mendiskriminasi perempuan, telah membentuk ideologi tersendiri pada ide dan perilaku laki-laki yang masih belum menyadari akan bahaya budaya patriarki bagi kaum perempuan. Salah satu bahaya yang kerap muncul akibat budaya patriarki ialah laki-laki merasa pantas dan wajar menggoda hingga menyerang perempuan. Itu terjadi karena ideologi patriarki men-setup alam bawah sadar laki-laki untuk meyakini dan berperilaku sebagai penguasa jalanan (ranah publik), jagoan, tidak kenal rasa takut, yang kesemuanya diimplementasikan dengan cara menstigma perempuan yang keluar rumah sendirian, lalu diiringi dengan perilaku menggodanya hingga menyerang. Selain itu rokok, miras, bahkan obat-obatan terlarang, bagi laki-laki yang mendijadikan ketiganya sebagai standar untuk mengukur kemachoan laki-laki, akan menjadi sajian bila mereka tengah berkumpul.

b. Hukum Kebiri
Memberi jawaban hukum kebiri bagi pelaku kekerasan seksual, sama saja menyimpulkan bahwa kekerasan seksual hanya dilakukan dengan menggunakan kelamin saja. Selain itu ada asumsi bila pelaku dikebiri, selain untuk efek jera, juga untuk mengantisipasi pelaku melakukan perbuatannya di kemudian hari. Padahal kepuasan seksual bisa didapat dari aktifitas yang selain menggunakan kelamin.

Lalu mengapa ide kebiri bisa hadir? Hal itu muncul selain karena menganggap persoalan seksualitas sangat sederhana, yakni hanya sebatas penetrasi penis, juga bisa menjadi bumerang bagi korban kekerasan yang ingin menuntut keadilan. Kalau kekerasan seksual hanya disimpulkan bila ada penetrasi penis, maka korban kekerasan seksual yang dilecehkan dengan cara diraba atau dengan cara lainnya akan dianggap bukan sebagai kekerasan seksual.

Ide kebiri selain menyederhanakan masalah, juga karena penis dianggap sebagai simbol keperkasaan dan eksistensi laki-laki sejati. Karenanya mengapa Viagra (obat kuat laki-laki), jasa membesarkan ukuran penis dan jasa menyembuhkan impotensi banyak diminati. Dengan kata lain ideologi patriarki telah mempengaruhi alam bawah sadar atas lahirnya ide kebiri yang meyakini, bahwa, untuk membuat laki-laki terpuruk adalah dengan merampas simbol keperkasaannya, yakni dengan cara kebiri.

Mendidik Laki-laki untuk Menghormati Perempuan

Memberikan pemahaman dan pembiasaan melalui praktek sehari-hari dapat dimulai dari lingkungan keluarga tentang bagaimana semestinya relasi yang baik dan benar bagi seorang laki-laki terhadap perempuan, termasuk didalamnya ialah pemahaman untuk tidak melakukan kekerasan seksual. Pola asuh dalam keluarga agar anak laki-laki menghormati perempuan, akan menjadi basis bagi anak laki-laki ketika ia mulai berbaur dalam kehidupan sosial yang lebih luas. Karenanya akan semakin efektif bila lembaga pendidikan, baik formil dan non formil juga turut memberikan pemahaman tentang bagaimana menjadi laki-laki yang menghormati perempuan dan tidak melakukan kekerasan seksual. Efektifitas akan kian terasa manakala dalam dunia kerja juga menerapkan persaingan karir berdasarkan kompentensi, bukan jenis kelamin, dan penarapan peraturan ketat terkait larangan perilaku yang merendahkan dan melecehkan perempuan.
Mengharapkan adanya peran dunia pendidikan dan jangkauan yang lebih luas lagi dalam menekan kekerasan seksual, tentunya harus ada peran Negara dalam hal ini pemerintah. Selain mengintervensi dunia pendidikan, pemerintah juga harus mengintervensi pejabat dan aparat penegak hukum agar terbebas dari bias ketika terjadi dan tengah menangani kasus-kasus kekerasan seksual.

Sanksi Sosial

Nur Iman Subono, dalam Jurnal Perempuan 64, menyatakan perlu ada keterlibatan masyarakat terutama laki-laki agar tidak menjadi mayoritas yang diam dalam menyikapi persoalan ketidakadilan berbasis gender, terutama pada kekerasan seksual yang selalu berulang. Sebagaimana kutipan Nur Iman Subono pada tesisnya Kaufman, kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan laki-laki selalu berulang karena masyarakat menganggap hal itu sebagai sesuatu yang wajar (permisif). Hal demikian terjadi (dianggap wajar) adalah bagian dari hak istimewa menjadi laki-laki, dan itu (hak istimewa) merupakan hasil dari konstruksi budaya patriarki.

Untuk itu sebagai manusia yang memiliki empati, rasional, dan rasa tanggung jawab, sudah semestinya menerapkan sanksi sosial kepada pelaku dan menjadikan itu sebagai “belenggu” bagi pelaku atas apa yang ia perbuat. Jenis sanski sosial yang dimaksud salah satunya ialah dengan memberikan label pada pelaku sebagai orang yang pernah melakukan kekerasan seksual. Reputasinya sebagai pelaku kekerasan seksual akan menjadi label pada kehidupan sosialnya sehari-hari. Tapi apakah sanksi sosial berlebihan? Bila kembali pada derita korban yang ia akan alami seumur hidup, maka sanksi sosial bagi pelaku kekerasan seksual tidaklah berlebihan.

Selain itu, sanksi sosial juga akan menjadi ring kedua bila putusan pengadilan justru tidak berpihak pada korban. Hal itu (putusan perkara yang tidak adil) pernah dilakukan seorang hakim di Montana, Amerika Serikat, Todd Baugh. Selain ia memvonis pelaku kekerasan seksual hanya 30 hari, dan sang Hakim juga turut menyalahkan korban, yang menurutnya korban yang usianya 14 tahun dalam kondisi mengendalikan situasi, dan sang hakim menganggap hubungan dilakukan suka sama suka.

Kasus Yuyun diatas merupakan salahsatu bentuk ketidakadilan gender. Pada saat ini mungkin tidak disadari secara mendalam banyak pelecehan yang diucapkan oleh laki-laki karena tidak semua orang memiliki sensitivitas yang sama terhadap persoalan gender. Oleh karena itu, gender sebagai kesadaran social penting adanya, dalam kerangka memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender pada setiap level. Dan tentunya agar kasus-kasus seperti kasus Nurhayati ini tidak terulang kembali karena kita adalah mahluk social yang harus saling menghargai dan menghormati. Meskipun secara biologis peran laki-laki dan perempuan berbeda, namun secara social masing-masing mempunyai hak untuk tidak di diskriminasikan.

Kumpulan artikel yang di buat oleh saya sendiri dan opini, ertikel yang saya muat ulang dari koran