MODAL SOSIAL DALAM KOMUNITAS
(STUDY KASUS KOMUNITAS LINGKUNG SENI SUNDA UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG)
ABSTRAK
Modal sosial mempunyai perenan penting dalam sebuah kelompok, institusi, komunitas ataupun bentuk himpunan yang lainnya. modal tersebut mempunyai peran atau pengaruh dalam meningkatkan kinerja organisasi ataupun bisa membentuk integrasi yang kuat dalam kelompok. Hal tersebut mendorong tindakan seorang individu atau kelompok untuk bertindak secara kolektive, sehingga memicu tumbuhnya kesadaran kolektive anggota dalam kelompok atau organisasi tersebut. Modal sosial tersebut terdiri dari Norma (norms), kepercayaan (trust), dan jaringan (networking). Untuk mendukung modal sosial terbangun dalam organisasi perlu adanya budaya organisasi, transformasi kepemimpinan, sikap anggota yang positif, dan menerima perbedaan setiap anggota. Tujuannya agar
anggota terbiasa dengan sikap dan perilaku yang mendukung kemunculan modal sosial sehingga modal tersebut terinternalisasi dalam diri mereka dan benar-benar menjadi modal dalam menjalani kehidupan organisasi.
PENDAHULUAN
Istilah modal biasanya dikaitkan dengan uang atau sesuatu yang dapat dinilai dengan uang seperti peralatan dan mesin-mesin yang berfungsi untuk proses produksi sebuah organisasi bisnis. Harapan pemilik dengan adanya modal tersebut adalah agar di masa mendatangmampu menghasilkan keuntungan. Jika modal tersebut dibawa ke dalam koteks sosial atau istilahnya menjadi modal sosial maka hal tersebut mengarah pada sesuatu yang abstrak namun pengaruhnya menjadinyata dalam kehidupan sosial maupun organisasi. Modal tersebut muncul akibat adanya interaksi sosial dalam sebuah lingkungan sosial seperti kelompok, organisasi atau masyarakat.
Returnpada modal sosial lebih cenderung dilhat dari membaiknya sebuah proses yang ada dalam organsiasi.Semakin efektifnya proses kerja yang ada karena para anggotanya mempunyai hubungan yang baik, mampu bekerja sama dan rendahnya tingkat konflik interpersonal menunjukkan bukti adanya tingkat returntersebut. Bagi anggota, returnyang bersifat psikhologis tersebut memberikan dampak kenyamanan dalam berkerja sehingga membendung keinginan anggota untuk pindah kerja. Bahkan pada beberapa anggota, modal sosial bisa mendorong timbulnya kepuasan kerja. Kondisi tersebut secara akumulatif,dalam jangka panjang akan memberikan efek pada kinerja organisasi. Leana dan Pil (2006) menjelaskan bahwa modal sosialinternal maupun eksternal memberikan efek positif pada kinerja organisasi. Sedangkan Ferrer1 et.al (2013) menyatakan bahwa modal sosial memainkan peran yang penting dalam organisasi dan berpengaruh positif terhadap kierja organisasi. Komunitas berasal dari bahasa Latin communitas yang berarti “kesamaan”,
kemudian communitas dapat diturunkan dari communis yang berarti “sama.
Dalam komunitas manusia atau individu-individu di dalamnya dapat
memiliki maksud, kepercayaan, sumber daya, preferensi, kebutuhan,
risiko, kegemaran dan sejumlah kondisi lain yang serupa. Jadi Komunitas
adalah orang yang saling peduli satu sama lain dari yang seharusnya
terjadi, dimana dalam sebuah komunitas terjadi relasi pribadi yang erat
antar para anggota komunitas tersebut karena adanya kesamaan interest
atau values. Komunitas juga dapat dikatakan sebagai sebuah identifikasi
dan interaksi social yang dibangun dengan berbagai dimensi kebutuhan
fungsional.
Dorongan unuk berkumpul dalam setiap individu berbeda-beda motiv dan tujuannya namun ketika sudah terbentuk dalam sebuah wadah, maka motive tersebut akan dibungkus dengan tujuan kelompok ssehingga tujuan individu akan mendorong tindakan secara bersama atau kolektive. Begitu halnya dengan komunitas Lingkung Seni Sunda (LISUNG) UIN Sunan Gunung Djati Bandung, yang terbentuk dari berbagai kebutuhan dan kegemaran individu terhadap kesenian Sunda. kegemaran tersebut berupa bermusik menambah wawasan mengenai kebudayaan sunda, belajar tarian sunda. dan juga kebutuhan individu untuk berkumpul dan sekedar ngbrol santai saja. berbagai motiv tersebut mendorong eksistensi LISUNG diklangan mahasiswa UIN Bandung dengan terbuktinya adanya kegiatan seperti kajian kebudayaan dan pentas seni sunda. Untuk mempertahankan eksistensi tersebut maka dalam komuntas LISUNG mempunyai nilai yang di terapkan seperti menjaga kepercaan, norma atau aturan yang berlaku didalamnya, dan juga networking atau relasi yang kuat untuk menghubungkan LISUBG dengan pihak internal maupun eksternal. hal tersebut sejalan dengan indikator modal sosial yaitu kepercayaan (trust), Norma (Norms), dan jaringan (Networking). sehingga modal sosial tersebut mempunyai peran penting dalam komunita LISUNG.
Modal sosial memiliki cakupan dimensi yang sangat luas dan
komplek. Para ahli memberikan pengertian tentang modal sosial sangat
bervariasi, sesuai dengan sudut pandang serta dimensi yang dijadikan sebagai
rujukan untuk memaknai modal sosial. Berbeda dengan modal manusia, yang lebih
merujuk pada dimensi individu terkait dengan daya serta keahlian yang dimiliki
seorang individu terkait dengan daya serta keahlian yang dimiliki seorang
individu. Pada modal sosial lebih menekankan pada potensi individu maupun
kelompok dan hubungan anatar kelompok dalam suatu jaringan sosial, norma,
nilai, dan kepercayaan antar sesame yang lahir dari anggota kelompok dan menjadi
norma kelompok.
Bourdieu dalam Yuliarmi (2011) mendefinisikan, modal sosial
sebagai kumpulan sumberdaya yang dibutuhkan oleh individual atau kelompok
sehingga dapat memiliki jaringan hubungan institusional yang lebih tahan lama
agar saling mengakui dan menghargai. Putnam dalam Yuliarmi (2011). Mengatakan
bahawa modal sosial mengacu kepada ciri organisasi sosial, seperti jaringan,
norma dan kepercayaan yang memfasilitasi koordinasi dan kinerja agar saling
menguntungkan. Dia melihat modal sosial sebagai bentuk barang publik berbeda
dengan pengaruhnya terhadap kinerja ekonomi dan politik pada level kolektif.
Dia menekankan bahwa partisipasi orang-orang dalam kehidupan asosiasional
mengahasilkan institusi public lebih efektif dan layanan lebih baik.
Modal sosial adalah cara disusunya masyarkat yang ditandai
jaringan-jaringan, norma-norma, dan kepercayaan sosial yang mempermudah
koordinasi dan kerjasama demi mencapai suatu tujuan tertentu. (Fukuyama, 1995).
Dalam kutipan lain Fukuyama berpendapat bahwa social capital adalah kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum
didalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu darinya. Ia bisa
dilembagakan dalam kelompok sosial yang paling kecil dan paling mendasar,
demikian juga kelompok-kelompok masyarakat yang paling besar, Negara, dan dalam
seluruh kelompok lain yang ada diantaranya.
Modal sosial adalah informasi, kepercayaan, dan norma dari
timbal balik yang melekat dalam jaringan sosial (Woolcock, 1998 dalam Yuliarmi,
2011). Yustika (2008) menambahkan dalam masyarakat tradisional, hubungan
transaksi ekonomi yang selalu berulang dan menghasilkan pencapaian yang bagus,
dalam jangka panjang mempunai ekpektasi untuk bertahan ketimbang relasi ekonomi
yang dipenuhi dengan manipulasi. Modal sosial dalam bentuk ekspektasi dan
kepercayaan inilah yang bisa di transformasikan menjadi keunggulan untuk
memperoleh benefit ekonomi.
Inti modal sosial terletak pada bagaimana kemampuan masyarakat
dalam suatu entitas atau kelompok untuk bekerjasama membangun suatu jaringan
untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama tersebut diwarnai oleh suatu pola
interelasi yang timbal balik dan saling menguntungkan (re-siprocity), dan dibangun atas kepercayaan yang ditopang oleh
norma-norma dan nilai-nilai sosial yang positif dan kuat (Hasbullah dalam
Wibowo, 2007:67).
Beberapa definisi yang diberikan para ahli tentang modal sosial
secara garis besar menunjukan bahwa modal sosial merupakan unsur pelumas yang
sangat menentukan bagi terbangunnya kerjasama anatar individu atau kelompok
atau terbangunya suatu perilaku kerjasama kolektif.
Modal sosial terikat adalah cenderung bersifat eksklusif
(Hasbullah, 2006:55) apa yang menjadi karakteristik dasar yang melekat pada
tipologi ini, sekaligus sebagai ciri khasnya, dalam konteks ide, relasi, dan
perhatian, adalah lebih berorientasi kedalam (inward looking) dibandingkan dengan berorientasi keluar (outward looking). Ragam masyarakat yang
menjadi anggota kelompok ini pada umumnya cenderung homogen.
Dalam bahasa lain bonding
social capital ini dikenal pula
sebagai ciri sacred society. Menurut
Putnam (1993), pada masyarakat sacred
society dogma tertentu mendominasi dan mempertahankan struktur masyarakat
yang totalitarian, hierarchical, dan
tertutup. Di dalam pola interaksi sehari-hari selalu dituntun oleh nilai-nilai
dan norma-norma yang menguntungkan level hierarki tertentu dan feodal.
Hasbullah, (2006:112) menyatakan, pada masyarakat yang inward looking atau sacred, meskipun
hubungan sosial yang tercipta memiliki tingkat kohesifitas yang kuat, akan
tetapi kurang merefleksikan kemampuan masyarakat tersebut untuk menciptakan dan
memiliki modal sosial yang kuat.
Dapat ditarik suatu benang merah bahwa, jika pada masyarakat
tradisional yang socially inward looking kelompok-kelompok masyarakat yang
terbentuk dikatakan tidak memiliki modal sosial. Akan tetapi kekuatanya
terbatas pada satu dimensi saja, yaitu dimensi kohesifitas kelompok. Kohesifitas kelompok yang terbentuk
karena faktor keeratan hubungan emosional kedalam yang sangat kuat. Keeratan
tersebut juga disebabkan oleh pola nilai yang melekat dalam setiap proses
interaksi yang juga berpola tradisional. Mereka juga jauh dari kehidupan
masyarakat modern yang mengutamakan efisisensi produktivitas dan kompetisi yang
dibangun atas prinsip pergaulan yang egaliter dan bebas. Konsekuensi lain dari
sifat dan tipologi ketertutupan sosial ini adalah sulitanya mengembangkan ide
baru, orientasi baru, dan nilai-nilai serta norma baru yang memperkaya
nilai-nilai dan norma yang telah ada. Kelompok bonding social capital yang terbentuk pada akhirnya memiliki
resistensi kuat terhadap perubahan.
Hasbullah (2006:119), bentuk modal sosial yang menjembatani atau
brigading social capital ini biasa
disebut juga bentuk modern dari suatu pengelompokan, group, asosiasi, atau
masyarakat. Prinsip-prinsip pengorganisasian yang dianut didasarkan pada
prinsip-prinsip universal tentang persamaan,kebebasan, serta nilai-nilai
kemajemukan dan humanitarian (kemanusiaan,terbuka, dan mandiri).
Prinsip persamaan, bahwasannya setiap anggota dalam suatu
kelompok masyarakat memiliki hak-hak dan kewajiban yang sama. setiap keputusan
kelompok berdasarkan kesepakatan yang egaliter dari setiap anggota kelompok.
Pimpinan kelompok masyarakat hanya menjalankan kesepakatan-kesepakatan yang
telah ditentukan oleh para anggota kelompok. Prinsip kebebasan bahwasannya
setiap anggota kelompok bebas berbicara mengemukakan pendapat dan ide yang
dapat mengembangkan kelompok tersebut.
Prinsip kemajemukan dan humanitarian, bahwasannya nilai-nilai
kemanusiaan, penghormatan terhadap hak asasi setiap anggota dan orang lain yang
merupakan prinsip dasar dalam pengembangan asosiasi, group, kelompok, atau
suatu masyarakat. Kehendak kuat untuk membantu orang lain, merasakan
penderitaan orang lain, serempati terhadap situasi yang dihadapi orang lain,
adalah merupakan dasar-dasar ide huminatirian, sebagai konsekuensinya,
masyarakat yang menyadarkan pada brigading social capital biasanya
heterogen dari berbagai ragam unsur latar belakang budaya dan suku. Setiap
anggota kelompok memiliki akses yang sama untuk membuat jaringan atau koneksi
keluar kelompoknya dengan prinsip persamaan, kemanusiaan, dan kebebasan yang
dimiliki.
Mengikuti Coleman (1999) dalam Hasbullah, 2006), gtipologi
masyarakat bridging social capital
dalam gerakannya lebih memberikan tekanan pada dimensi fight for (berjuang untuk). Yaitu mengarah pada pencarian ajawaban
bersama untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh kelompok. Pada keadaan
tertentu jiwa gerakan lebih diwarnai oleh semangat fight against yang bersifat memberikan perlawanan terhadap anacaman
berupa kemungkinan runtuhnya simbul-simbul kepercayaan tradisional yang dianut
oleh kelompok masyarakat. Pada kelompok masyarakat yang demikian ini, perilaku
kelompok yang dominan adalah sekedar sense
of solidarity.
Bentuk modal sosial yang menjembatani bridging capital social umumnya mampu memberikan kontribusi besar
bagi perkembangan kemajuan dan kekuatan masyarakat. Hasil-hasil kajian di
banyak Negara menunjukan bahwa dengan tumbuhnya bentuk modal sosial yang
menjembatani ini memungkinkan perkembangan di banyak dimensi kehidupan,
terkontrolnya korupsi, semakin efisiensinya pekerjaan-pekerjaan pemerintah,
mempercepat keberhasilan upaya penanggulangan kemiskinan.
Modal sosial dapat dijelaskan sebagai produk relasi manusia satu
sama lain, khususnya relasi yang intim dan konsisten. Modal sosial menunjukan
pada jaringan, norma, dan kepercayaan yang berpotensi pada produktivitas
masyarakat. Dalam modal sosial selalu tidak terlepas dari tiga elemen pokok
atau indicator yang mencakup yaitu:
1. Kepercayaan/trust (kejujuran, kewajaran, sikap
egaliter, toleransi dan kemurahan hati);
2. Jaringan
Sosial/ social networks (partisipasi,
resiprositas, solidaritas, dan kerjasama);
3. Norma/
Norms (nilai-nilai bersama, norma dan
sanksi, dan aturan);
1.
Norma
(Norms)
Norma atau kaidah adalah ketentuan-ketentuan yang menjadi
pedoman dan panduan dalam bertingkahlaku dalam kehidupan masyarakat. Norma
berisi anjuran untuk berbuat baik dan larangan untuk berbuat buruk dalam
bertindak sehingga kehidupan ini menjadi lebih baik.
Putnam dalam Lawang (2005:70), menjelaskan bahwa norma adalah
sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi oleh anggota masyarakat pada suatu
etnis tertentu. Biasanya norma sosial akan dapat berperan secara signifikan
dalam mengontrol setiap prilaku dalam masyarakt. Norma yang tercipta diharapkan
dipatuhi dan diikuti oleh individu pada suatu entitas sosial tertentu.
Aturan-aturan tersebut biasanya tidak tertulis, namun demikian dipahami oleh
setuap individu dalam konteks hubungan sosial-ekonomi. Norma sosial tidak bisa
dipisahkan dari jaringan kerja sosial, karena dengan terbentuknya jaringan
sosial maka terbangunlah norma sosial.
2.
Kepercayaan
(Trust)
Fukuyama (1995) berpendapat, unsur terpenting dalam modal
sosial adalah kepercayaan yang merupakan perekat bagi langgengnya kerjasama
dalam kelompok masyarakat. Dengan kepercayaan (trust) orang-orang akan bisa bekerjasama dalam kelompok masyarakat.
Dengan kepercayaan (trust)
orang-orang akan bisa bekerjasama secara lebih efektif
Fukuyama (1995) menambahkan kepercayaan adalah harapan yang
muncul dalam sebuah komunitas yang berprilaku normal, jujur dan kooperatif
berdasarkan norma-norma yang dimiliki bersama, demi kepentingan anggota yang
lain dari komunitas tersebut. Ada tiga perilaku dalam omunitas yang mendukung
kepercayaan ini, yaitu perilaku normal, jujur, dan kooperatif.
Fukuyama (1995) berpendapat bahwa jenis solidaritas yang umum
didapati dalam modal sosial dewasa ini adalah solidaritas organic, karena
karakteristik masyarakat sekarang ini cenderung sudah kompleks.
3.
Jaringan
Sosial (Social Networks)
Jaringan sosial merupakan salah satu dimensi capital sosial
selain kepercayaan dan norma. Konsep jaringan dalam modal sosial lebih
memfokuskan pada asepek ikatan anatar simpul yaitu terdiri dari individu atau
kelompok (organisasi). Dalam hal ini terdapat pengertian adanya hubungan sosial
yang diikat oleh adanya kepercayaan yang mana kepercayaan itu dipertahankan dan
dijaga oleh norma-norma yang ada. Pada konsep jaringan ini, terdepat unsur
kerja yang melalui media hubungan sosial menjadi kerjasma. Pada dasarnya
jaringan sosial terbentuk karena adanya rasa saling tahu, saling
menginformasikan, saling mengingatkan, dan saling membantu dalam melaksanakan
ataupun mengatasi sesuatu. Intinya, konsep jaringan dalam modal sosial
menunjukan pada semua hubungan dengan individu atau kelompok lain memungkinkan
kegiatan dapat berjalan secara efisien dan efektif (Lawang, 2005:86).
Selanjutnya jaringan itu sendiri dapat terbentuk dari hubungan
anatar personal, anatar individu dengan institusi, serta jaringan anatar
institusi. Sementara jaringan sosial merupakan dimensi yang bisa saja
memerlukan dukungan dua dimensi lainnya karena kerjasama atau jaringan sosial tidak akan terwujud
tanpa dilandasi norma dan rasa saling percaya.
Granovetter dalam Hasbullah (2006:115), menjelaskan gagasan
mengenai pengaruh struktur sosial terutama yang dibentuk berdasarkan jaringan
terhadap manfaat ekonomis khususnya menyangkut kualitas informasi. Menurutnya
ada empat prinsip utama yang melandasi pemikiran mengenai adanya hubungan
pengaruh antara jaringan sosial dengan manfaat ekonomi, yakni: Pertama, norma dan kepadatan jaringan. Kedua, lemah atau kuatnya ikatan, yakni
manfaat ekonomi yang ternyata cenderung didapat dari jalinan ikatan yang lemah.
Ketiga, peran lubang struktur yang berada di luar ikatan lemah ataupun ikatan
kuat yang ternyata berkontribusi untuk menjembatani relasi individu dengan
pihak luar. Keempat, interpretasi terhadap tindakan ekonomi dan non-ekonomi,
yaitu adanya kegiatan-kegiatan non ekonomis yang dilakukan dalam kehidupan
sosial individu yang ternyata mempengaruhi tindakan ekonominya. Dalam hal ini
Granovetter menyebutnya ketertambatan tindakan non ekonomi dalam kegiatan
ekonomi sebagai akibat adanya jaringan sosial.
KOMUNITAS LINGKUNG SENI SUNDA UIN SUNAN GUNG DJATI BANDUNG
Lingkung Seni Sunda UIN SGD Bandung (LISUNG) didirikan di lingkungan kampus politik UIN SGD Bandung pada tanggal 14 Maret 2014. Dengan para pendirinya dari mahasiswa UIN SGD Bandung dari Jurusan Sosiologi Fisip angkatan 2012 yang dibantu oleh Keluarga Besar Sosiologi angkatan 2012 (KBS’12) serta di setujui oleh Pembantu Dekan 3 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.Salah satu faktor pendorong terbentuk atau berdirinya LISUNG adalah adanya budaya sunda yang merupakan warisan dari karuhun atau leluhur-leluhur di Jawa Barat yang merupakan tanah sunda serta letak kampus UIN SGD Bandung yang cukup strategis di wilayah kota Bandung, serta sekumpulan mahasiswa yang berorientasi, menyukai dan berkeinginan ikut andil dalam melestarikan budaya Sunda yang kian lama kian terkikis oleh budaya barat dengan problem kebudayaan bangsa meliputi pergeseran nilai-nilai budaya di era globalisasi ini dan sikap konsumtivisme, hedonisme, serta krisis paradigma kebudayaan sunda.
LISUNG lebih memeperjelas lagi arah geraknya dengan terbentuknya VISI & MISI serta logo yang menjadi symbol komunitas LISUNG yang mengandung makna didalamnya. Adapun hasil dari yang demikian itu adalah:
VISI
Melestarikan Seni Sunda dengan Cinta, Cita, Cipta dan Karsa
Misi
1. Melestarikanseni Sunda agar menjadi tuan rumah di Lemah Cai.
2. Menggali potensi jiwa seni Mahasiswa yang kreatif, inovatif dan produktif
3. Melestarikan seni dan budaya Sunda di era modern yang kokoh dalam pendirian dan mempunyai integritas yang tinggi.
4. Menjungjung tinggi nilai-nilai seni Sunda dalam kehidupan berbudaya.
REFLEKSI MODAL SOSIAL PADA KOMUNITAS LINGKUNG SENI SUNDA UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
Komunitas Lingkung Seni unda UIN Sunan Gunung Djati Bandung adalah komunitas yang bergerak dalam wilayah pelestarian kebudayaan sunda. seperti yang telah dipaparkan dalam sejarah singkatnya bahwa berdirinya komunitas LISUNG berasal dari rasa memiliki akan kebudayaan sunda namun melihat dari lapangan bnbahwa kebudayaan sunda khususnya di lingkungan kampus tidak begitu di lestarikan atau eksistensinya kurang. padahal sejatinya bahwa anggota dari komunitas tersebut notabene adalah orang sunda dan harusnya lebih mengetahui akan kekayaan budayanya. hal itulah yang melatarbelakangi berdirinya komunitas LISUNG.
Dalam merealisasikan visi serta misi dari pada komunitas tersebut maka perlu adanya dorongan yang kuat baik dari internal anggota amapun eksternal. komunitas ini tidak terbentuk atas dasar menyalurkan hobi seperti awamhnya komunitas namun disisi lain ada hal yang lebih penting yaitu adanya pemberdayaan akan kebudayaan. dalam misi melestarikan budaya tersebut kondisi kelompok atau komunitas harus terkendali dan terorganisir. maka budaya yang di tanamkan oleh kelompok LISUNG dalam mewujudkan misinya dan juga mempertahakan misinya yaitu dengan semangat membangun kesadaran bersama. adapaun kesadaran tersebut berasal dari adanya stimulus dan stimulus tersebut dibentuk dari adanya tiga aspek modal sosial, yaitu:
1. Kepercayaan (Trust)
Fukuyama (1995) berpendapat, unsur terpenting dalam modal
sosial adalah kepercayaan yang merupakan perekat bagi langgengnya kerjasama
dalam kelompok masyarakat. Dengan kepercayaan (trust) orang-orang akan bisa bekerjasama dalam kelompok masyarakat.
Dengan kepercayaan (trust)
orang-orang akan bisa bekerjasama secara lebih efekti. Unsur kepercayaan tersebut di tumbuhkan dari awal pembentukan komunitas. sikap saling percaya dimunculkan agar masing-masing anggota mempunyia rasa tanggung jawab serta menumbuhkan rasa kekeluaraan yang tinggi antara satu sama lain. Hal tersebut bisa dilihat dari kedekatan anggota, tidak ada senioritas ataupun junioritas di dalam lingungan tersebut. "Hirup Sauyunan" begitulah pepatah sunda menagtakan, dalam artian hidup bersama-sama dalam segala hal. baik dari segi penggarapan kegiatan, pemecahan masalah dengan jalan musyawarah, dan juga melangkah bersama-sama dalam melestarikan budaya sunda.
Setelah tumbuhnya Kepercayaan tersebut maka kerjasama untuk saing membesarkan satu sama lain terbangun. hal demikian yang diterapkan dalam komunitas LISUNG.
2. Norma
(Norms)
Norma atau kaidah adalah ketentuan-ketentuan yang menjadi
pedoman dan panduan dalam bertingkahlaku dalam kehidupan masyarakat. Norma
berisi anjuran untuk berbuat baik dan larangan untuk berbuat buruk dalam
bertindak sehingga kehidupan ini menjadi lebih baik.
Meskipun dikatakan komunitas yang berbeda halnya dengan organisasi dimana terdapat aturan tertentu yang biasa di uangkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dalam mengatur jaanny roda organisasi supaya lebih sdan sesui dengan pedomannya. Berbeda denga komunitas LISUNG punya aturan tertentu didalamnya. ada norma-norma yang harus dipakai dalam menjalankan tujuan tersebut. namun norma yang dipakai adalah norma yang tidak tertulis. adapun norma yang dibudayakan diadalamnya adalah
a. Cara
Cara bertatakrama yang baik ketika bertemu dengan sesam anggota LISUNG atau dengan orang lain adalah dengan mengucapkan "SAMPURASUN" yaitu salam dalam kebudayaan Sunda.
b. Kebiasaan (Folkways)
Dengan membiasakan berbicara baik kepada sesama anggpta ataupun kepada masyarakat dengan menggunakan bahasa sunda yang baik, atau istilahnya lemes.
c. Tata Kelakuan (mores)
Melarang setiap anggota untuk bertindak anarkis ataupun tidak sopan karena itu tidak sesuai dengan budaya kasundaan.
3. Jaringan
Sosial (Social Networks)
Jaringan sosial merupakan salah satu dimensi capital sosial
selain kepercayaan dan norma. Konsep jaringan dalam modal sosial lebih
memfokuskan pada asepek ikatan anatara simpul yaitu terdiri dari individu atau
kelompok (organisasi). dalam aspek jaringan komunitas LISUNG menggunakannya secara optimal karena aspek inilah yang menentukan eksistensi LISUNG. Lisung mempunyai beberapa jaringan diantaranya jaringan yang menghubungkan dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan di Kta Bandung, kemudian jaringan dengan komunitas penggerak kebudayaan di kota Bandung, jaringan dengan komunitas penggerak seni sunda di kampus-kampus luar. dan metode tersebut digunakan dengan menarik simpul-simpul di setiap komunitas atau organisasi.
Kuatnya jaringan yang ada akan menimbulkan kesetiaan kelompok di mana setiap anggota akan merasa menjadi bagian dari kelompok tersebut. Dari sisi pembelajaran, proses pembelajran anggota dalam kelompok menjadi lebih efektif dengan terhubungnya mereka dalam sebuah jaringan. Pengetahuan yang ada baik pengetahuan lama atau baru akan menjadi pengetahuan kelompok ketika mrekaberada dalam satu jaringan dengan tujuan yang sama. Transfer pengetahuan yang ada dalam kelompok menjadi lebih cepat dengan terhubungnya mereka dalam satu jaringan.
Adanya jaringan akan menimbulkan invoasi dalam hal membuat sebuah kegiatan, misalnya munculnya cara baru dalam mengkonsep sebuah kegiatan atau kajian .
Kondisi yang Menyuburkan Modal Sosial Modal sosial akan tumbuh subur dalam organisasi atau kelompok ketika terdapat
kondisi yang memungkinkan anggota untuk mengembangkan modal sosial tersebut dalam sikap dan perilaku mereka dalam berorganisasi atau kelompok. Kondisi tersebut adalah sebagai berikut:
- Keadilan
Keadilan merupkan kondisi di mana secara umum anggota merasakan ada keadaan yang seimbang, sebanding atauimbal balik yang setimpal di dalam organisasi yang menyangkut aturanyang diterapkan atau kebijakan organisasi terhadap anggotanya. Kondisi organisasi yang dirasakan adil oleh anggotanya akan mendorong anggotanya untuk berinteraksi secara nyaman dengan anggota lain. Keadilan tidak akan menimbulkan prasangka, kecurigaan atau sikap negatif lainnya yang mengganggu kualitas interaksi antar anggota.
2. Kepemimpinan Transformasional
Kondisi organisasi tak akan lepas dari tipe kepemiminan yang ada. Kepemimpinan transformasional yang dikenal sebagai kepemimpinan yang humanis dan mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap bawahan dipandang mampu memberikan dampak pada meningkatnya jalinan sosial pada anggota organisasi. Menurut Bass dan Riggio (2006) tipe kempimpinan tersebut sangat memberikan keleluasaan bagi bawahan untuk tumbuh dan berkembang dengan cara memperhatikan kebutuhannya, memberdayakannya dan menyelaraskan tujuan pengikut yang bersifat individu atau kelompok dengan tujuan organisasi. Kepemimpinan transformasional akan mampu menstimulasi bawahan untuk bertindak sesuai dengan tujuan organisasi melalui bimbingan dan mentoring. Perasaan adanya pengakuan pada diri bawahan akan meningkat karena dalam praktiknya pemimipin begitu menghargai bawahan dan mengedepankan moralitas, komitmen, integritas, kepercayaan dan mampu megintegrasikan visi individu dengan organisasi sehingga dalam pencapaian visi organisasi di dalamnya terdapat pencapaian visi pengikut (Hoyle, 2006). Hasilnya bawahan mempunyai keterikatan yang kuat dengan organisasi sehingga perilakunya akan selaras visi organisasi.
3. Budaya Organisasi
Budaya yang ada dalam organisasi akan mempengaruhi perilaku anggotanya. Budaya biasanya berisi nilai-nilai yangdijadikan dasar bagi anggota untuk berperilaku. Nilai-nilai tersebut merupakan sumber dan daya hidup organisasi. Budaya yang mendukung munculnya modal sosial yaitu budaya organisasi yang seleras dengan nilai-nilai humanisme, sarat dengan budaya kolektif dan memberikan keleluasaan kepada anggota untuk tumbuh dan berkembang bersama.
4. Sikap Anggota
Kondisi organisasi tak bisa dipisahkan dari perilaku individu-individu yang ada di dalamnya. Meskipun ada norma dan aturan yang berlaku dalam organisasi, namun unsur individual masih tetap memegang peranan penting bagi kemunculan modal sosial. Normadan aturan terkadang tak mampu mngintervensi keputusan berperilaku pada anggotanya. Karenanya sikap dari anggota secara individual menentukan keberadaan modal sosial. Sikap tersebut terdiri dari kedermawanan, sikap positif, kemampuan berempati, adanya sikap melayanidan kemampuan anggota untuk memberikan apresiasi kepada anggota lain.
5. Penerimaan terhadap Keragaman
Organisasi terdiri dari kumpulan individu dengan keragaman yang ada di dalamnya, baik keragaman yang meliputi umur,jenis kelamin, pengetahuan, pengalaman kerja atau keragaman yang tak terlihat seperti cara pandang, ideologi dan nilai-nilai yang dianut.Keragaman yang ada di satu sisi akan berdampak positif seperti munculnya kreativitas atau ide-ide yang muncul demi kemajuan organisasi. Namun ketika anggota tidak menyadarinya sebagai sebuah realita sosial yang harus mereka terima,
maka keragaman akan menimbulkan konflik dalam organisasi. Karenanya, untuk mmelihara modal sosial diperlukan sikap anggota yang menerima keragaman.
KESIMPULANModal sosial telah dipercaya sebagai modal yang mampu meningkatkan eksistensi komunitas LISUNG karenanya modal tersebut diperhitungkan keberadaannya dalam komunitas tersebut. . Modal tersebut terdiri dari kepercayaan (trust), norma (norm), sikap timbal balik (reciprocity) dan jaringan (network)antar individu dalam sebuah kelompok atau organisasi. Di samping itu, ada unsur lain yang telah dipraktikkan dalam kelompok atau organisasi, namun belum populer sebagai modal sosial seperti, sense of belonging(rasa memiliki), gotong royong, kepedulian sosial, toleransi, kohesivitas, kesetiakaawanan dan sikap-sikap lain yang telah berkembang dan dipraktikkan sebagai nilai-nilai prososial dalam berorganisasi.
Untuk melestarikan keberadaan modal sosial diperlukan kondisi yang menumbuhkannya seperti adanya keadilan, penerapan kepemimpinan transformasional, budaya organisasi, sikap anggota yang
positif dan penerimaan terhadap keragaman. Dalam praktiknya modal sosial yang tinggi terkadang mempunyai dampak negatif. Kohesivitas kelompok dan solidaritas anggota yang tinggi memicu munculnya fanatisme kelompok yang memandang kelompok lain lebih rendah.