Jumat, 14 Oktober 2016

REFILOSOFI KEBUDAYAAN PERGESERAN PASCASTRUKTURAL ( STUDY OF CULTURE, CULTURAL STUDIES )



REFILOSOFI KEBUDAYAAN
PERGESERAN PASCASTRUKTURAL
( STUDY OF CULTURE, CULTURAL STUDIES )

Dari aras filosofis, yakni nilai, maka kebudayaan kemudian terbumikan pada praksis kehidupan. Inilah yang menggeret persoalan budaya pada domain antropologis; satu domain yang menahbiskan suatu pengkajian asa budaya. Dalam model ini, kebudayaan menjadi objek, yang mana sang peneliti menjadi subjek pengkaji. Satu hal yang berbeda dengan cultrural studies, yang mana bahkan studi budaya telah dilihat sebagai cara penguasaan epistemic atas masyarakat.
Di sini, kekhawatiran filsafat akan non-filosofisnya ilmu budaya, tak sepenuhnya terjadi. Disebabkan dalam berbagai studi tersebut, terdapat kegelisahan normatif yang mempertanyakan apa nilai kebudayaan. ini yang berusaha diklarifikasi oleh ahimsa putra atas tesis bekker yang menambatkan simbiolisme kognitif menyediakan jembatan kreatif bagi manusia untuk mengolah ulang alam sesuai dengan kemanusiaan. Misal sederhna terletak pada pembedaan insting dan nilai, yang membuat manusia tidak hanya berdasar hasrat seksual ketika berhadapan dengan lawan jenis, tetapi ia terbatasi oleh nilai (agama dan nilai sosial) yang mengeram serta mengarahkan.
pda titik ini, konsep manusia sebagai mahluk simbolik menjadi penting. Konsep ini menentang konsep manusia yang di determinsai oleh daya atau stimulan eksternal, yang mana naturalisme telah menghabiskan adanya realitas material ekstrenal yang berjalan secara deterministik, independen dari subjek. Disini manusia tidak berhadapan dengan dunia fisik selayaknya hewan. ia mampu mengambil jarak dengan realitas karena memiliki subtratum simbolik dibenaknya, yang membuat ia mampu melakukan refleksi atas stimulan eksternal. 
Ia tidak mempresentasikan realitas seperti adanya, tetapi memiliki kapasitas untuk mengolah realitas itu menjadi simbol kultural, seperti bahasa, agama, seni dan ilmu pengetahuan. relitas tidak sama dengan sensasi indrawi karena ia tidak pernah terberi. melainkan merupakan rajutan simbolik kretaivitas.  Aspek representasi simbolik menjadi pembeda karena dengan hal tersebut manusia memiliki filter untuk menyaring dunia sekaligus mengendalikan aspek instingtif yang menyamakan dengan binatang. 
Pada ranah manusia mempertahankan identitasnya, ranah ini mengacu pada aktivitas yang fungsi primernya adalah mendefinisikan dan membatasi status manusia atau ekspresi yang hendak mewujudkan makna manusia atau ekspresi yang hendak mewujudkan makana manusia melalui simbol. aspek pertahanan identitas ini menjadi penting sebab ketika ranah mempertahankan kehidupan hanya melihat berfungsinya ritual untuk berdaptasi dengan lingkungan, maka kerja mempertahankan identitas merujuk pada panggalian jawaban, apa yang membuat ritual itu terjadi. 



Referesnsi: Arif Syaiful, 2010. Refilosofi Kebudayaan: AM Arruz Media . Jogjakarta

Kamis, 13 Oktober 2016

LATERGI KEBUDAYAAN

LATERGI KEBUDAYAAN



Letargi Kebudayaan (ROBERTUS ROBET) Mengapa kita begitu gampang melupakan, bahkan melupakan pandangan-pandangan dasar kita sendiri? Mengapa kita begitu mudah menggeser prinsip? Mengapa kita terus dengan mudah memberikan toleransi kepada pemimpin-pemimpin dan politisi yang berjanji, mengingkarinya, berjanji lagi dan mengingkarinya lagi? Mengapa kita dengan mudah tergoda dan beralih kepada idola-idola ketimbang berpikir secara serius dan mendalami mengenai apa-apa yang terpenting untuk mencapai kemaslahatan bersama? Mengapa kita dengan mudah memaklumi kesalahan dan kejahatan publik yang sebenarnya serius, bahkan kemudian sering malah berbaris meletakkan diri kita di bawahnya? Mengapa kita sering gagal bertindak dalam standar etis dan dengan mudah jatuh ke dalam hipokrisi? Barangkali kita tengah mengalami gejala letargi kebudayaan. 

Letargi secara leksikal sering diterjemahkan sebagai "kelelahan". Letargi dialami masyarakat Amerika pada tahun 1990-an awal dengan ciri-ciri meluasnya perilaku malas, di mana orang lebih banyak menghabiskan waktu di depan TV, berleha-leha, gaya hidup asal-asalan, tidak memiliki disiplin dan tujuan hidup (Daniel W Rosided, 1993: hal 488). Gejala-gejala fisik serupa juga terjadi di Inggris pada masa pasca Perang Dunia II. Intinya, penelitian sosiologi menyoroti gejala letargi sebagai bentuk-bentuk perilaku sosial di dalam masyarakat di mana apati meluas dan banyak orang menjadi tidak produktif, serba putus asa, tanpa gairah. Namun, teolog Amerika, James V Schaal, memiliki definisi yang lebih luas dan lebih tepat untuk menjelaskan letargi sebagai gejala historis dalam kebudayaan ketimbang hanya persoalan dalam perilaku sebagaimana ditafsirkan oleh sosiologi tingkah laku. 

Dalam pandangan Schaal, letargi lebih merujuk pada kelelahan secara mental, bukan kelelahan fisik dan bukan semata-mata persoalan perilaku. Letargi menyangkut kemunduran yang lebih subtil, yakni tanda dari mulainya gejala kemerosotan dalam peradaban, kemandulan dalam dunia intelektual, kemandekan dalam politik dan sosial (James V Schaal SJ, 2014). Secara fisik kita mungkin aktif, bergerak ke sana-kemari, berkunjung ke pihak-pihak, menulis, menjadi relawan ini dan itu, anggota partai politik, tetapi secara mental kita mentok dan kering gagasan. 

Letargi kebudayaan membuat kita gagal menggerakkan kapasitas mental untuk mencari alternatif-alternatif yang paling optimum untuk mengatasi keburukan. Akibatnya, kita menghabiskan tindakan untuk menutup satu keburukan besar melalui akumulasi keburukan-keburukan yang lebih kecil. Awal runtuhnya peradaban Kita terlampau payah untuk secara maksimum mencari yang terbaik untuk masyarakat. Letargi membuat kita jatuh dalam kecendrungan untuk "asal ada saja" atau "yang penting bukan dia", bukannya berpikir melampaui dan mencari apa atau siapa yang terbaik untuk masyarakat kita dan bertahan dalam ideal itu. Ketiadaan upaya untuk mencari yang terbaik secara optimum adalah awal dari merosotnya peradaban. Istilah letargi sendiri berasal dari katalethe, yakni salah satu nama sungai dari empat sungai yang disebut-sebut dalam mitologi Yunani, yang dapat dikonstruksi sebagai gejala yang dimulai dari kecenderungan untuk melupakan atau ketidakmampuan untuk menggerakkan memori dan menemukan kebenaran dan hal-hal yang esensial. Uniknya, sebagaimana diungkap oleh Schaal, kata letargi secara etimologi juga memiliki kesamaan dengan kata Aletheiayang dalam bahasa Yunani berarti kebenaran. Huruf a di awal kata a-letheiabermakna bukan atau tidak tersembunyi. Aletheia dengan demikian bisa berarti penyingkapan atau kebenaran. Kebenaran dengan demikian berkaitan secara erat dengan penolakan untuk melupakan (alethe). 

Dengan itu, letargi secara prinsipiil adalah kecenderungan untuk menerima segala hal apa "adanya", apa yang disajikan secara mentah, bahkan menerima apa-apa yang sebenarnya keliru dan bertentangan dengan pendirian-pendirian kita. Di dalam letargi, kita sebenarnya sudah menyerah kepada keadaan, tapi kita berpura-pura terlibat dan antusias di dalamnya. Di dalam letargi, seluruh daya aktivitas kita dimulai bukan dengan bagaimana mengupayakan apa yang benar, melainkan dimulai dengan apa yang sekadar kita bisa dari yang ada. Itulah sebabnya, Schaal menyebut letargi sebagai kelelahan dan kemalasan mental untuk mencapai kebenaran dan kualitas. Itu sebabnya pula, sejarawan menyebut letargi sebagai gejala runtuhnya peradaban. Perilaku politik Salah satu ciri letargi dalam kebudayaan terlihat dalam sulitnya mempertahankan suatu karakter dalam perilaku politik dan berdemokrasi kita. 

Demokrasi politik di Indonesia dihidupkan oleh perilaku politik yang serba cair atau lentur (fluid). Dengan itu, harmoni dicapai melalui serah terima dan tukar tambah kepentingan secara ad hoc, bukan dari hasil konfrontasi ide dan gagasan. Uniknya, perilaku ini diterima secara mentah-mentah dalam diskursus publik secara umum. Perilaku "mencla-mencle" dalam politik diterima sebagai kewajaran. Dengan begitu, rakyat kebanyakan tidak pernah dididik berpolitik di dalam gagasan. Tanpa gagasan, rakyat akan dengan mudah melupakan. Tanpa gagasan, politik tidak akan pernah dialami sebagai perjuangan, melainkan hanya sebatas pilihan-pilihan instan. Akibatnya, demokrasi politik kita tidak pernah mengalami kemajuan. Yang terjadi dalam demokrasi kita adalah sejenis "obesitas" politik, bobotnya bertambah, riuhnya meningkat, tapi ia bukan makin sehat, melainkan makin ke arah risiko ambruk. Guru-guru di sekolah-sekolah di seluruh Indonesia diminta mengajarkan pendidikan karakter, tetapi politik kita, pada saat yang sama, mengajarkan bagaimana cara mengkhianati karakter dengan sukses, untuk saat ini "politik" yang menang. 

ROBERTUS ROBET Sosiolog Universitas Negeri Jakarta Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul "Letargi Kebudayaan".


Rabu, 12 Oktober 2016

KEKERASAN SEKSUAL ANAK DAN PEREMPUAN : WUJUD IDE SOLUSI HASIL DARI IDEOLOGI PATRIAKI

KEKERASAN SEKSUAL  PEREMPUAN 
WUJUD IDE SOLUSI HASIL DARI DEOLOGI PATRIAKI 

OLEH : LALIS NURHAYATI

             
A. KEKERASAN SEKSUAL PEREMPUAN

Semakin meningkatnya kekerasan seksual perempuan sudah termasuk kedalam satu kejahatan extraordinary crime, dimana ada perempuan disitu ada kekerasan. kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan merupakan sebuah terminologi yang sarat dengan arti dan makna “derita”, baik dikaji dari perspektif psikologik maupun hukum, bahwa di dalamnya terkandung perilaku manusia (seseorang/kelompok orang) yang dapat menimbulkan penderitaan bagi orang lain, (pribadi/ kelompok).

Tindak kekerasan atau “violence” oleh Jerome Skolncik didefinsikan sebagai “... an ambiguous term whose meaning is established throught political process”. Dalam arti tingkah laku, Michael Levi  lalu menyebutkan kekerasan sebagai “... its content and cuase are socially constructed”. Dari pandangan demikian, tampaknya perumusan tindak kekerasan sangat terkait dengan tingkah laku manusia yang bersifat kejam dan tidak manusiawi, namun tidak jelas apakah perumusan itu juga menampung aspirasi kaum minoritas (perempuan dan anak) yang selama ini rentang terhadap kekerasan. 

Kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan merupakan salah satu pelanggaran Hak Asasi Manusia yang paling umum di seluruh dunia. Di Indonesia, setiap hari sebanyak 12 perempuan telah mengalami kekerasan baik secara seksual, fisik, psikologis, maupun ekonomis. Menurut data Komisi Nasional Perempuan, pada tahun 2014 kekerasan terhadap perempuan di ranah personal mencapai 8.626 kasus dengan 3 kasus terbanyak meliputi kekerasan terhadap istri (5.102 kasus atau 59%), kekerasan dalam pacaran (1.748 kasus atau 21%), kekerasan terhadap anak perempuan (843 kasus atau 10%).

Ada berbagai macam bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan yang terjadi di Indonesia, di antaranya: (1)perkosaan, (2)intimidasi seksual, (3)pelecehan, (4)pemaksaan kehamilan, (5)pemaksaan perkawinan, (5)pemaksaan penggunaan kontrasepsi, (6)pemaksaan aborsi, (7)tindakan-tindakan diskriminatif berbasis gender. Pada kelompok muda, kekerasan dapat terjadi dalam relasi berpacaran, praktik perdagangan anak perempuan, sampai dengan bentuk-bentuk tradisi yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan.
 
Pada tahun 1993  Sidang Umum PBB mengadopsi deklarasi yang menentang kekerasan terhadap perempuan yang telah dirumuskan tahun 1992 oleh Komisi Status Perempuan PBB, di mana dalam pasal 1 disebutkan bahwa, “kekerasan terhadap perempuan mencakup setiap perbuatan kekerasan atas dasar perbedaan kelamin, yang mengakibatkan atau dapat mengakibatkan kerugian atau penderitaan terhadap perempuan baik fisik, seksual maupun psikhis, termasuk ancaman perbuatan tersebut, paksaan dan perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi dalam kehidupan yang bersifat publik maupun privat”.
 
Ceritera tentang korban tindak kekerasan dikalangan perempuan dan anak memang sedikit sekali ditemukan di dalam berbagai literatur yang ada, karena itu jarang terungkap bahwa viktimisasi terhadap perempuan melalui tindak kekerasan diajukan ke peradilan pidana. Masalahnya mungkin pada persepsi masyarakat, baik secara keseluruhan maupun kaum perempuan itu sendiri, bahwa kekerasan yang dialaminya adalah lebih baik untuk disembunyikan saja. Ini tentu ada kaitannya dengan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat mengenai kedudukan perempuan selama ini dalam masyarakat. Kalangan perempuan terkadang menyembunyikan viktimisasi terhadap dirinya karena berbagai alasan, namun yang  utama adalah karena mereka tidak ingin dirinya diketahui orang lain atau mungkin akan mencoreng harga sendiri, terlepas dari ada tidaknya konstribusi perempuan terhadap tindak kekerasan yang dialaminya.
 
 masih ingatkah kita dengan kasus kekerasan seksual yang menimpa Yuyun gadis berusai 12 tahun yang diperkosa oleh 12 orang laki-laki sampai yuyun tewas dan mengalami beberapa luka di dalam tubuhnya diakibatkan oleh kekerasan tersebut. dan setelah itu ada kasus yang paling membuat hati semakin menjerit dan ulukuduk berdiri yaitu kasusu Eno yang mengalami kekerasan seksual yang diperkosa oleh 3 orang laki-laki dan dibunuh secara keji dengan cara memasukan cangkul melalui alat kelaminnya yang kedalamnya sampai merusak organ hatinya. kasus ini membuka mata kita bahwa keadilan dan perlindungan terhadap perempuan di negeri ini masih sangatlah rendah. fenomena kekerasan ini banyak yang masih belum terungkap diluar sana ibarat fenomen gunung es.  

Bentuk kekerasan (violence) terhadap perempuan ini merupakan konsekuensi logis dari sterotype terhadapnya. Perempuan adalah komunitas yang rentan dan potensial untuk berposisi sebagai korban dari kesalahan pencitraan terhadapnya atau kekerasan yang terjadi akibat bias gender yang dalam literature feminism lazim dikenal sebagai gender-related violence, yang berbentuk perkosaan terhadap perempuan termasuk di dalamnya kekerasan dalam perkawinan (marital rape), aksi pemukulan dan serangan non-fisik dalam rumah tangga, penyiksaan yang mengarah pada organ alat kelamin (misalnya sirkumsisi), prostitusi, pornografi, pemaksaan sterelisasi dalam keluarga berencana dan kekerasan seksual (sexual harassment).

B. Wujud Ide Solusi Hasil dari Ideologi Patriarki

Diskursus gender masih didominasi mengenai konsep perbedaan peran dan antara  laki-laki   dan   perempuan. Perdebatannya bukan semata fokus pada pelaku (laki-laki dan perempuan), namun lebih kepada sistem dan struktur budaya patriarki. Hal ini berawal dari konsepsi  gender yang memiliki karakter produksi dan konstruksi budaya yang sifatnya dinamis. Sistem budaya patriarki yang melandasi aspek identitas, subjektivitas dan seksulitas ini mengalami reduktivitas yang menghasilkan stereotip bahwa perempuan adalah makluk yang  lemah  lembut,  cantik, emosional, pasif dan keibuan, sedangkan laki-laki adalah  makhluk  yang  kuat,  agresif, dan perkasa. Adanya pencitraan tersebut  dapat menimbulkan  kesan diskriminasi  terhadap kaum perempuan.  

Secara umum maskulinitas sendiri merupakan konsep yang terbuka, bukan merupakan identitas tetap dan monolitis yang terpisahkan dari pengaruh ras, kelas dan budaya, melainkan dalam sebuah jarak identitas yang kontradiktif. Menurut Mansour Fakih, maskulinitas tidak dapat dipisahkan dengan konsep gender yang melatari dimensi soial dan budaya, dimana gender dibangun berdasarkan konstruksi sosial maupun kulutural manusia. Perbedaan fisik tersebut akhirnya membangun perbedaan-perbedaan psikologis yang kemudian disosialisasikan dan diperkuat melalui pembelajaran lingkungan. Misalnya bayi perempuan yang baru lahir diberikan perlengkapan dengan nuansa warna merah muda, sedangkan bayi laki-laki yang lahir diberikan perlengkapan dengan nuansa warna biru muda. Perbedaan lainnya terdapat pada pola pengasuhan, misalnya anak perempuan diberikan mainan boneka ataupun permainan yang beresiko rendah, sedangkan anak laki-laki diberikan mainan mobil-mobilan, tembak-tembakan ataupun permainan yang beresiko tinggi. Hal ini terus berlanjut sampai kepada pertumbuhan mental hingga dewasa.

Penguasaan atas ranah publik bukan saja dikuasai oleh laki-laki secara fisik, tetapi juga meliputi ide, sIstem yang terbangun, hingga tawaran dan putusan solusi penuh cita rasa laki-laki. Karenanya dengan mudah dapat dijumpai tawaran ide untuk mengantisipasi dan menghukum pelaku kekerasan seksual justru sangat jauh dari akar masalah, antara lain:

a. Miras Sebagai Penyebab dan Undang-undang Pelarangan Miras sebagai Jawaban
Menjawab persoalan maraknya kekerasan seksual dengan menyimpulkan bahwa kekerasan seksual terjadi karena minuman keras, dan menganggap solusinya adalah dengan menerbitkan Undang-undang (UU) yang melarang minuman keras (Miras). Pemikiran tersebut sama saja mengingakari fakta yang ada di mana pelaku kekerasan seksual ketika melakukan aksinya banyak yang tidak dibawah pengaruh minuman keras.

Lalu mengapa kesimpulan dan ide itu bisa lahir bahkan dari mereka yang bekerja di lembaga yang semestinya memahami akar masalah kekerasan seksual? Itu tidak lepas dari konstruksi patriarki yang membentuk kita sedari kecil hingga saat ini. Tapi bukankah orang dibawah pengaruh miras bisa berbuat di luar kendali? Secara medis itu dibenarkan, tetapi fokus dan solusi semestinya bukan hanya pada miras, karena yang paling berperan adalah konstruksi budaya patriarki yang mendudukan laki-laki sebagai manusia nomor satu, sehingga ia menguasai jalanan (ranah publik), dianggap wajar bila menenggak minuman keras, dianggap wajar bila menggoda dan menyakiti perempuan. Sementara sebaliknya, budaya patriarki justru membentuk perempuan menjadi manusia kelas dua, liyan, dan bila keluar rumah sendirian dianggap bukan perempuan baik-baik dan dianggap sebagai pemicu laki-laki menggodanya.

Konstruksi patriarki atau budaya yang mengedepankan kepentingan laki-laki dan mendiskriminasi perempuan, telah membentuk ideologi tersendiri pada ide dan perilaku laki-laki yang masih belum menyadari akan bahaya budaya patriarki bagi kaum perempuan. Salah satu bahaya yang kerap muncul akibat budaya patriarki ialah laki-laki merasa pantas dan wajar menggoda hingga menyerang perempuan. Itu terjadi karena ideologi patriarki men-setup alam bawah sadar laki-laki untuk meyakini dan berperilaku sebagai penguasa jalanan (ranah publik), jagoan, tidak kenal rasa takut, yang kesemuanya diimplementasikan dengan cara menstigma perempuan yang keluar rumah sendirian, lalu diiringi dengan perilaku menggodanya hingga menyerang. Selain itu rokok, miras, bahkan obat-obatan terlarang, bagi laki-laki yang mendijadikan ketiganya sebagai standar untuk mengukur kemachoan laki-laki, akan menjadi sajian bila mereka tengah berkumpul.

b. Hukum Kebiri
Memberi jawaban hukum kebiri bagi pelaku kekerasan seksual, sama saja menyimpulkan bahwa kekerasan seksual hanya dilakukan dengan menggunakan kelamin saja. Selain itu ada asumsi bila pelaku dikebiri, selain untuk efek jera, juga untuk mengantisipasi pelaku melakukan perbuatannya di kemudian hari. Padahal kepuasan seksual bisa didapat dari aktifitas yang selain menggunakan kelamin.

Lalu mengapa ide kebiri bisa hadir? Hal itu muncul selain karena menganggap persoalan seksualitas sangat sederhana, yakni hanya sebatas penetrasi penis, juga bisa menjadi bumerang bagi korban kekerasan yang ingin menuntut keadilan. Kalau kekerasan seksual hanya disimpulkan bila ada penetrasi penis, maka korban kekerasan seksual yang dilecehkan dengan cara diraba atau dengan cara lainnya akan dianggap bukan sebagai kekerasan seksual.

Ide kebiri selain menyederhanakan masalah, juga karena penis dianggap sebagai simbol keperkasaan dan eksistensi laki-laki sejati. Karenanya mengapa Viagra (obat kuat laki-laki), jasa membesarkan ukuran penis dan jasa menyembuhkan impotensi banyak diminati. Dengan kata lain ideologi patriarki telah mempengaruhi alam bawah sadar atas lahirnya ide kebiri yang meyakini, bahwa, untuk membuat laki-laki terpuruk adalah dengan merampas simbol keperkasaannya, yakni dengan cara kebiri.

Mendidik Laki-laki untuk Menghormati Perempuan

Memberikan pemahaman dan pembiasaan melalui praktek sehari-hari dapat dimulai dari lingkungan keluarga tentang bagaimana semestinya relasi yang baik dan benar bagi seorang laki-laki terhadap perempuan, termasuk didalamnya ialah pemahaman untuk tidak melakukan kekerasan seksual. Pola asuh dalam keluarga agar anak laki-laki menghormati perempuan, akan menjadi basis bagi anak laki-laki ketika ia mulai berbaur dalam kehidupan sosial yang lebih luas. Karenanya akan semakin efektif bila lembaga pendidikan, baik formil dan non formil juga turut memberikan pemahaman tentang bagaimana menjadi laki-laki yang menghormati perempuan dan tidak melakukan kekerasan seksual. Efektifitas akan kian terasa manakala dalam dunia kerja juga menerapkan persaingan karir berdasarkan kompentensi, bukan jenis kelamin, dan penarapan peraturan ketat terkait larangan perilaku yang merendahkan dan melecehkan perempuan.
Mengharapkan adanya peran dunia pendidikan dan jangkauan yang lebih luas lagi dalam menekan kekerasan seksual, tentunya harus ada peran Negara dalam hal ini pemerintah. Selain mengintervensi dunia pendidikan, pemerintah juga harus mengintervensi pejabat dan aparat penegak hukum agar terbebas dari bias ketika terjadi dan tengah menangani kasus-kasus kekerasan seksual.

Sanksi Sosial

Nur Iman Subono, dalam Jurnal Perempuan 64, menyatakan perlu ada keterlibatan masyarakat terutama laki-laki agar tidak menjadi mayoritas yang diam dalam menyikapi persoalan ketidakadilan berbasis gender, terutama pada kekerasan seksual yang selalu berulang. Sebagaimana kutipan Nur Iman Subono pada tesisnya Kaufman, kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan laki-laki selalu berulang karena masyarakat menganggap hal itu sebagai sesuatu yang wajar (permisif). Hal demikian terjadi (dianggap wajar) adalah bagian dari hak istimewa menjadi laki-laki, dan itu (hak istimewa) merupakan hasil dari konstruksi budaya patriarki.

Untuk itu sebagai manusia yang memiliki empati, rasional, dan rasa tanggung jawab, sudah semestinya menerapkan sanksi sosial kepada pelaku dan menjadikan itu sebagai “belenggu” bagi pelaku atas apa yang ia perbuat. Jenis sanski sosial yang dimaksud salah satunya ialah dengan memberikan label pada pelaku sebagai orang yang pernah melakukan kekerasan seksual. Reputasinya sebagai pelaku kekerasan seksual akan menjadi label pada kehidupan sosialnya sehari-hari. Tapi apakah sanksi sosial berlebihan? Bila kembali pada derita korban yang ia akan alami seumur hidup, maka sanksi sosial bagi pelaku kekerasan seksual tidaklah berlebihan.

Selain itu, sanksi sosial juga akan menjadi ring kedua bila putusan pengadilan justru tidak berpihak pada korban. Hal itu (putusan perkara yang tidak adil) pernah dilakukan seorang hakim di Montana, Amerika Serikat, Todd Baugh. Selain ia memvonis pelaku kekerasan seksual hanya 30 hari, dan sang Hakim juga turut menyalahkan korban, yang menurutnya korban yang usianya 14 tahun dalam kondisi mengendalikan situasi, dan sang hakim menganggap hubungan dilakukan suka sama suka.

Kasus Yuyun diatas merupakan salahsatu bentuk ketidakadilan gender. Pada saat ini mungkin tidak disadari secara mendalam banyak pelecehan yang diucapkan oleh laki-laki karena tidak semua orang memiliki sensitivitas yang sama terhadap persoalan gender. Oleh karena itu, gender sebagai kesadaran social penting adanya, dalam kerangka memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender pada setiap level. Dan tentunya agar kasus-kasus seperti kasus Nurhayati ini tidak terulang kembali karena kita adalah mahluk social yang harus saling menghargai dan menghormati. Meskipun secara biologis peran laki-laki dan perempuan berbeda, namun secara social masing-masing mempunyai hak untuk tidak di diskriminasikan.

Jumat, 08 Januari 2016

MODAL SOSIAL DALAM KOMUNITAS

MODAL SOSIAL DALAM KOMUNITAS
(STUDY KASUS KOMUNITAS LINGKUNG SENI SUNDA UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG)

ABSTRAK
Modal sosial mempunyai perenan penting dalam sebuah kelompok, institusi, komunitas ataupun bentuk himpunan yang lainnya. modal tersebut mempunyai peran atau pengaruh dalam meningkatkan kinerja organisasi ataupun bisa membentuk integrasi yang kuat dalam kelompok. Hal tersebut mendorong tindakan seorang individu atau kelompok untuk bertindak secara kolektive, sehingga memicu tumbuhnya kesadaran kolektive anggota dalam kelompok atau organisasi tersebut. Modal sosial tersebut terdiri dari Norma (norms), kepercayaan (trust), dan  jaringan (networking). Untuk mendukung modal sosial terbangun dalam organisasi perlu adanya budaya organisasi, transformasi kepemimpinan, sikap anggota yang positif, dan menerima perbedaan setiap anggota. Tujuannya agar
anggota terbiasa dengan sikap dan perilaku yang mendukung kemunculan modal sosial sehingga modal tersebut terinternalisasi dalam diri mereka  dan benar-benar menjadi modal dalam menjalani kehidupan organisasi. 


PENDAHULUAN 
Istilah modal biasanya dikaitkan dengan uang atau  sesuatu yang dapat  dinilai dengan uang seperti peralatan dan mesin-mesin yang berfungsi untuk proses produksi sebuah organisasi bisnis. Harapan pemilik dengan adanya modal tersebut adalah agar di masa mendatangmampu menghasilkan keuntungan. Jika modal tersebut dibawa ke dalam koteks  sosial atau istilahnya menjadi modal sosial maka hal tersebut mengarah pada sesuatu yang abstrak namun pengaruhnya menjadinyata dalam kehidupan sosial maupun organisasi. Modal tersebut  muncul akibat  adanya interaksi sosial dalam sebuah lingkungan sosial seperti kelompok, organisasi atau masyarakat.               
Returnpada modal sosial lebih cenderung dilhat dari membaiknya sebuah proses yang ada dalam organsiasi.Semakin efektifnya proses kerja yang ada karena para anggotanya mempunyai hubungan yang baik, mampu bekerja sama dan rendahnya tingkat konflik interpersonal menunjukkan bukti adanya tingkat  returntersebut. Bagi anggota,  returnyang bersifat psikhologis tersebut memberikan dampak kenyamanan dalam berkerja sehingga membendung keinginan anggota untuk pindah kerja. Bahkan pada beberapa anggota, modal sosial bisa mendorong timbulnya kepuasan kerja. Kondisi tersebut secara akumulatif,dalam jangka panjang akan memberikan efek pada kinerja organisasi.  Leana dan Pil (2006) menjelaskan bahwa modal sosialinternal maupun eksternal memberikan efek  positif pada kinerja organisasi. Sedangkan  Ferrer1 et.al (2013) menyatakan bahwa modal sosial  memainkan peran yang penting dalam organisasi dan berpengaruh positif terhadap kierja organisasi. Komunitas berasal dari bahasa Latin communitas yang berarti “kesamaan”, kemudian communitas dapat diturunkan dari communis yang berarti “sama. Dalam komunitas manusia atau individu-individu di dalamnya dapat memiliki maksud, kepercayaan, sumber daya, preferensi, kebutuhan, risiko, kegemaran dan sejumlah kondisi lain yang serupa. Jadi Komunitas adalah orang yang saling peduli satu sama lain dari yang seharusnya terjadi, dimana dalam sebuah komunitas terjadi relasi pribadi yang erat antar para anggota komunitas tersebut karena adanya kesamaan interest atau values. Komunitas juga dapat dikatakan sebagai sebuah identifikasi dan interaksi social yang dibangun dengan berbagai dimensi kebutuhan fungsional.
Dorongan unuk berkumpul dalam setiap individu berbeda-beda motiv dan tujuannya namun ketika sudah terbentuk dalam sebuah wadah, maka motive tersebut akan dibungkus dengan tujuan kelompok ssehingga tujuan individu akan mendorong tindakan secara bersama atau kolektive.  Begitu halnya dengan komunitas Lingkung Seni Sunda (LISUNG) UIN Sunan Gunung Djati Bandung, yang terbentuk dari berbagai kebutuhan dan kegemaran individu terhadap kesenian Sunda. kegemaran tersebut berupa bermusik menambah wawasan mengenai kebudayaan sunda, belajar tarian sunda. dan juga kebutuhan individu untuk berkumpul dan sekedar ngbrol santai saja. berbagai motiv tersebut mendorong eksistensi LISUNG diklangan mahasiswa UIN Bandung dengan terbuktinya adanya kegiatan seperti kajian kebudayaan dan pentas seni sunda. Untuk mempertahankan eksistensi tersebut maka dalam komuntas LISUNG mempunyai nilai yang di terapkan seperti menjaga kepercaan, norma atau aturan yang berlaku didalamnya, dan juga networking atau relasi yang kuat  untuk menghubungkan LISUBG dengan pihak internal maupun eksternal. hal tersebut sejalan dengan indikator modal sosial yaitu kepercayaan (trust), Norma (Norms), dan jaringan (Networking). sehingga modal sosial tersebut mempunyai peran penting dalam komunita LISUNG. 

Modal Sosial  

Modal sosial memiliki cakupan dimensi yang sangat luas dan komplek. Para ahli memberikan pengertian tentang modal sosial sangat bervariasi, sesuai dengan sudut pandang serta dimensi yang dijadikan sebagai rujukan untuk memaknai modal sosial. Berbeda dengan modal manusia, yang lebih merujuk pada dimensi individu terkait dengan daya serta keahlian yang dimiliki seorang individu terkait dengan daya serta keahlian yang dimiliki seorang individu. Pada modal sosial lebih menekankan pada potensi individu maupun kelompok dan hubungan anatar kelompok dalam suatu jaringan sosial, norma, nilai, dan kepercayaan antar sesame yang lahir dari anggota kelompok dan menjadi norma kelompok.
Bourdieu dalam Yuliarmi (2011) mendefinisikan, modal sosial sebagai kumpulan sumberdaya yang dibutuhkan oleh individual atau kelompok sehingga dapat memiliki jaringan hubungan institusional yang lebih tahan lama agar saling mengakui dan menghargai. Putnam dalam Yuliarmi (2011). Mengatakan bahawa modal sosial mengacu kepada ciri organisasi sosial, seperti jaringan, norma dan kepercayaan yang memfasilitasi koordinasi dan kinerja agar saling menguntungkan. Dia melihat modal sosial sebagai bentuk barang publik berbeda dengan pengaruhnya terhadap kinerja ekonomi dan politik pada level kolektif. Dia menekankan bahwa partisipasi orang-orang dalam kehidupan asosiasional mengahasilkan institusi public lebih efektif dan layanan lebih baik.
Modal sosial adalah cara disusunya masyarkat yang ditandai jaringan-jaringan, norma-norma, dan kepercayaan sosial yang mempermudah koordinasi dan kerjasama demi mencapai suatu tujuan tertentu. (Fukuyama, 1995). Dalam kutipan lain Fukuyama berpendapat bahwa social capital adalah kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum didalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu darinya. Ia bisa dilembagakan dalam kelompok sosial yang paling kecil dan paling mendasar, demikian juga kelompok-kelompok masyarakat yang paling besar, Negara, dan dalam seluruh kelompok lain yang ada diantaranya.
Modal sosial adalah informasi, kepercayaan, dan norma dari timbal balik yang melekat dalam jaringan sosial (Woolcock, 1998 dalam Yuliarmi, 2011). Yustika (2008) menambahkan dalam masyarakat tradisional, hubungan transaksi ekonomi yang selalu berulang dan menghasilkan pencapaian yang bagus, dalam jangka panjang mempunai ekpektasi untuk bertahan ketimbang relasi ekonomi yang dipenuhi dengan manipulasi. Modal sosial dalam bentuk ekspektasi dan kepercayaan inilah yang bisa di transformasikan menjadi keunggulan untuk memperoleh benefit ekonomi.
Inti modal sosial terletak pada bagaimana kemampuan masyarakat dalam suatu entitas atau kelompok untuk bekerjasama membangun suatu jaringan untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama tersebut diwarnai oleh suatu pola interelasi yang timbal balik dan saling menguntungkan (re-siprocity), dan dibangun atas kepercayaan yang ditopang oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial yang positif dan kuat (Hasbullah dalam Wibowo, 2007:67).
Beberapa definisi yang diberikan para ahli tentang modal sosial secara garis besar menunjukan bahwa modal sosial merupakan unsur pelumas yang sangat menentukan bagi terbangunnya kerjasama anatar individu atau kelompok atau terbangunya suatu perilaku kerjasama kolektif.

1.1.1        Modal Sosial Terikat (Bonding Social Capital)

Modal sosial terikat adalah cenderung bersifat eksklusif (Hasbullah, 2006:55) apa yang menjadi karakteristik dasar yang melekat pada tipologi ini, sekaligus sebagai ciri khasnya, dalam konteks ide, relasi, dan perhatian, adalah lebih berorientasi kedalam (inward looking) dibandingkan dengan berorientasi keluar (outward looking). Ragam masyarakat yang menjadi anggota kelompok ini pada umumnya cenderung homogen.
Dalam bahasa lain bonding social capital ini  dikenal pula sebagai ciri sacred society. Menurut Putnam (1993), pada masyarakat sacred society dogma tertentu mendominasi dan mempertahankan struktur masyarakat yang totalitarian, hierarchical, dan tertutup. Di dalam pola interaksi sehari-hari selalu dituntun oleh nilai-nilai dan norma-norma yang menguntungkan level hierarki tertentu dan feodal.
Hasbullah, (2006:112) menyatakan, pada masyarakat yang inward looking atau sacred, meskipun hubungan sosial yang tercipta memiliki tingkat kohesifitas yang kuat, akan tetapi kurang merefleksikan kemampuan masyarakat tersebut untuk menciptakan dan memiliki modal sosial yang kuat.
Dapat ditarik suatu benang merah bahwa, jika pada masyarakat tradisional yang socially inward looking kelompok-kelompok masyarakat yang terbentuk dikatakan tidak memiliki modal sosial. Akan tetapi kekuatanya terbatas pada satu dimensi saja, yaitu dimensi kohesifitas  kelompok. Kohesifitas kelompok yang terbentuk karena faktor keeratan hubungan emosional kedalam yang sangat kuat. Keeratan tersebut juga disebabkan oleh pola nilai yang melekat dalam setiap proses interaksi yang juga berpola tradisional. Mereka juga jauh dari kehidupan masyarakat modern yang mengutamakan efisisensi produktivitas dan kompetisi yang dibangun atas prinsip pergaulan yang egaliter dan bebas. Konsekuensi lain dari sifat dan tipologi ketertutupan sosial ini adalah sulitanya mengembangkan ide baru, orientasi baru, dan nilai-nilai serta norma baru yang memperkaya nilai-nilai dan norma yang telah ada. Kelompok bonding social capital yang terbentuk pada akhirnya memiliki resistensi kuat terhadap perubahan. 

1.1.1        Modal Sosial yang Menjembatani (Bridging Social Capital)

Hasbullah (2006:119), bentuk modal sosial yang menjembatani atau brigading social capital ini biasa disebut juga bentuk modern dari suatu pengelompokan, group, asosiasi, atau masyarakat. Prinsip-prinsip pengorganisasian yang dianut didasarkan pada prinsip-prinsip universal tentang persamaan,kebebasan, serta nilai-nilai kemajemukan dan humanitarian (kemanusiaan,terbuka, dan mandiri).
Prinsip persamaan, bahwasannya setiap anggota dalam suatu kelompok masyarakat memiliki hak-hak dan kewajiban yang sama. setiap keputusan kelompok berdasarkan kesepakatan yang egaliter dari setiap anggota kelompok. Pimpinan kelompok masyarakat hanya menjalankan kesepakatan-kesepakatan yang telah ditentukan oleh para anggota kelompok. Prinsip kebebasan bahwasannya setiap anggota kelompok bebas berbicara mengemukakan pendapat dan ide yang dapat mengembangkan kelompok tersebut.
Prinsip kemajemukan dan humanitarian, bahwasannya nilai-nilai kemanusiaan, penghormatan terhadap hak asasi setiap anggota dan orang lain yang merupakan prinsip dasar dalam pengembangan asosiasi, group, kelompok, atau suatu masyarakat. Kehendak kuat untuk membantu orang lain, merasakan penderitaan orang lain, serempati terhadap situasi yang dihadapi orang lain, adalah merupakan dasar-dasar ide huminatirian, sebagai konsekuensinya, masyarakat yang menyadarkan pada  brigading social capital biasanya heterogen dari berbagai ragam unsur latar belakang budaya dan suku. Setiap anggota kelompok memiliki akses yang sama untuk membuat jaringan atau koneksi keluar kelompoknya dengan prinsip persamaan, kemanusiaan, dan kebebasan yang dimiliki.
Mengikuti Coleman (1999) dalam Hasbullah, 2006), gtipologi masyarakat bridging social capital dalam gerakannya lebih memberikan tekanan pada dimensi fight for (berjuang untuk). Yaitu mengarah pada pencarian ajawaban bersama untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh kelompok. Pada keadaan tertentu jiwa gerakan lebih diwarnai oleh semangat fight against yang bersifat memberikan perlawanan terhadap anacaman berupa kemungkinan runtuhnya simbul-simbul kepercayaan tradisional yang dianut oleh kelompok masyarakat. Pada kelompok masyarakat yang demikian ini, perilaku kelompok yang dominan adalah sekedar sense of solidarity.
Bentuk modal sosial yang menjembatani bridging capital social umumnya mampu memberikan kontribusi besar bagi perkembangan kemajuan dan kekuatan masyarakat. Hasil-hasil kajian di banyak Negara menunjukan bahwa dengan tumbuhnya bentuk modal sosial yang menjembatani ini memungkinkan perkembangan di banyak dimensi kehidupan, terkontrolnya korupsi, semakin efisiensinya pekerjaan-pekerjaan pemerintah, mempercepat keberhasilan upaya penanggulangan kemiskinan.

1.1.3      Indikator Modal Sosial

Modal sosial dapat dijelaskan sebagai produk relasi manusia satu sama lain, khususnya relasi yang intim dan konsisten. Modal sosial menunjukan pada jaringan, norma, dan kepercayaan yang berpotensi pada produktivitas masyarakat. Dalam modal sosial selalu tidak terlepas dari tiga elemen pokok atau indicator yang mencakup yaitu:
1.      Kepercayaan/trust (kejujuran, kewajaran, sikap egaliter, toleransi dan kemurahan hati);
2.      Jaringan Sosial/ social networks (partisipasi, resiprositas, solidaritas, dan kerjasama);
3.      Norma/ Norms (nilai-nilai bersama, norma dan sanksi, dan aturan);
1.      Norma (Norms)
Norma atau kaidah adalah ketentuan-ketentuan yang menjadi pedoman dan panduan dalam bertingkahlaku dalam kehidupan masyarakat. Norma berisi anjuran untuk berbuat baik dan larangan untuk berbuat buruk dalam bertindak sehingga kehidupan ini menjadi lebih baik.
Putnam dalam Lawang (2005:70), menjelaskan bahwa norma adalah sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi oleh anggota masyarakat pada suatu etnis tertentu. Biasanya norma sosial akan dapat berperan secara signifikan dalam mengontrol setiap prilaku dalam masyarakt. Norma yang tercipta diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh individu pada suatu entitas sosial tertentu. Aturan-aturan tersebut biasanya tidak tertulis, namun demikian dipahami oleh setuap individu dalam konteks hubungan sosial-ekonomi. Norma sosial tidak bisa dipisahkan dari jaringan kerja sosial, karena dengan terbentuknya jaringan sosial maka terbangunlah norma sosial.

2.      Kepercayaan (Trust)
Fukuyama (1995)  berpendapat, unsur terpenting dalam modal sosial adalah kepercayaan yang merupakan perekat bagi langgengnya kerjasama dalam kelompok masyarakat. Dengan kepercayaan (trust) orang-orang akan bisa bekerjasama dalam kelompok masyarakat. Dengan kepercayaan (trust) orang-orang akan bisa bekerjasama secara lebih efektif
Fukuyama (1995) menambahkan kepercayaan adalah harapan yang muncul dalam sebuah komunitas yang berprilaku normal, jujur dan kooperatif berdasarkan norma-norma yang dimiliki bersama, demi kepentingan anggota yang lain dari komunitas tersebut. Ada tiga perilaku dalam omunitas yang mendukung kepercayaan ini, yaitu perilaku normal, jujur, dan kooperatif.
Fukuyama (1995) berpendapat bahwa jenis solidaritas yang umum didapati dalam modal sosial dewasa ini adalah solidaritas organic, karena karakteristik masyarakat sekarang ini cenderung sudah kompleks.
3.      Jaringan Sosial (Social Networks)
Jaringan sosial merupakan salah satu dimensi capital sosial selain kepercayaan dan norma. Konsep jaringan dalam modal sosial lebih memfokuskan pada asepek ikatan anatar simpul yaitu terdiri dari individu atau kelompok (organisasi). Dalam hal ini terdapat pengertian adanya hubungan sosial yang diikat oleh adanya kepercayaan yang mana kepercayaan itu dipertahankan dan dijaga oleh norma-norma yang ada. Pada konsep jaringan ini, terdepat unsur kerja yang melalui media hubungan sosial menjadi kerjasma. Pada dasarnya jaringan sosial terbentuk karena adanya rasa saling tahu, saling menginformasikan, saling mengingatkan, dan saling membantu dalam melaksanakan ataupun mengatasi sesuatu. Intinya, konsep jaringan dalam modal sosial menunjukan pada semua hubungan dengan individu atau kelompok lain memungkinkan kegiatan dapat berjalan secara efisien dan efektif (Lawang, 2005:86).
Selanjutnya jaringan itu sendiri dapat terbentuk dari hubungan anatar personal, anatar individu dengan institusi, serta jaringan anatar institusi. Sementara jaringan sosial merupakan dimensi yang bisa saja memerlukan dukungan dua dimensi lainnya karena kerjasama  atau jaringan sosial tidak akan terwujud tanpa dilandasi norma dan rasa saling percaya.
Granovetter dalam Hasbullah (2006:115), menjelaskan gagasan mengenai pengaruh struktur sosial terutama yang dibentuk berdasarkan jaringan terhadap manfaat ekonomis khususnya menyangkut kualitas informasi. Menurutnya ada empat prinsip utama yang melandasi pemikiran mengenai adanya hubungan pengaruh antara jaringan sosial dengan manfaat ekonomi, yakni: Pertama, norma dan kepadatan jaringan. Kedua, lemah atau kuatnya ikatan, yakni manfaat ekonomi yang ternyata cenderung didapat dari jalinan ikatan yang lemah. Ketiga, peran lubang struktur yang berada di luar ikatan lemah ataupun ikatan kuat yang ternyata berkontribusi untuk menjembatani relasi individu dengan pihak luar. Keempat, interpretasi terhadap tindakan ekonomi dan non-ekonomi, yaitu adanya kegiatan-kegiatan non ekonomis yang dilakukan dalam kehidupan sosial individu yang ternyata mempengaruhi tindakan ekonominya. Dalam hal ini Granovetter menyebutnya ketertambatan tindakan non ekonomi dalam kegiatan ekonomi sebagai akibat adanya jaringan sosial.



KOMUNITAS LINGKUNG SENI SUNDA UIN SUNAN GUNG DJATI BANDUNG

 Lingkung Seni Sunda UIN SGD Bandung (LISUNG) didirikan di lingkungan kampus politik UIN SGD Bandung pada tanggal 14 Maret 2014. Dengan para pendirinya dari mahasiswa UIN SGD Bandung dari Jurusan Sosiologi Fisip angkatan 2012  yang dibantu oleh Keluarga Besar Sosiologi angkatan 2012 (KBS’12) serta di setujui oleh Pembantu Dekan 3 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.Salah satu faktor pendorong terbentuk atau berdirinya LISUNG adalah adanya budaya sunda yang merupakan warisan dari karuhun atau leluhur-leluhur di Jawa Barat yang merupakan tanah sunda serta letak kampus UIN SGD Bandung yang cukup strategis di wilayah kota Bandung, serta sekumpulan mahasiswa yang berorientasi, menyukai dan berkeinginan ikut andil dalam melestarikan budaya Sunda yang kian lama kian terkikis oleh budaya barat dengan problem kebudayaan bangsa meliputi pergeseran nilai-nilai budaya di era globalisasi ini dan  sikap konsumtivisme, hedonisme, serta krisis paradigma kebudayaan sunda. 
LISUNG lebih memeperjelas lagi arah geraknya dengan terbentuknya VISI & MISI serta logo yang menjadi symbol komunitas LISUNG yang mengandung makna didalamnya. Adapun hasil dari yang demikian itu adalah:
VISI

Melestarikan Seni Sunda dengan Cinta, Cita, Cipta dan  Karsa

Misi

1.    Melestarikanseni Sunda agar menjadi tuan rumah di Lemah Cai.

2.    Menggali potensi jiwa seni Mahasiswa yang kreatif, inovatif dan produktif

3.    Melestarikan seni dan budaya Sunda di era modern yang kokoh dalam pendirian dan mempunyai integritas yang tinggi.

4.    Menjungjung tinggi nilai-nilai seni Sunda dalam kehidupan berbudaya.

REFLEKSI MODAL SOSIAL PADA KOMUNITAS LINGKUNG SENI SUNDA UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
Komunitas Lingkung Seni unda UIN Sunan Gunung Djati Bandung adalah komunitas yang bergerak dalam wilayah pelestarian kebudayaan sunda. seperti yang telah dipaparkan dalam sejarah singkatnya bahwa berdirinya komunitas LISUNG berasal dari rasa memiliki akan kebudayaan sunda namun melihat dari lapangan bnbahwa kebudayaan sunda khususnya di lingkungan kampus tidak begitu di lestarikan atau eksistensinya kurang. padahal sejatinya bahwa anggota dari komunitas tersebut notabene adalah orang sunda dan harusnya lebih mengetahui akan kekayaan budayanya. hal itulah yang melatarbelakangi berdirinya komunitas LISUNG. 
Dalam merealisasikan visi serta misi dari pada komunitas tersebut maka perlu adanya dorongan yang kuat  baik dari internal anggota amapun eksternal. komunitas ini tidak terbentuk atas dasar menyalurkan hobi seperti awamhnya komunitas namun disisi lain ada hal yang lebih penting yaitu adanya pemberdayaan akan kebudayaan. dalam misi melestarikan budaya tersebut kondisi kelompok atau komunitas harus terkendali dan terorganisir. maka budaya yang di tanamkan oleh kelompok LISUNG dalam mewujudkan misinya dan juga mempertahakan misinya yaitu dengan semangat membangun kesadaran bersama. adapaun kesadaran tersebut berasal dari adanya stimulus dan stimulus tersebut dibentuk dari adanya tiga aspek modal sosial, yaitu:
1. Kepercayaan (Trust)
Fukuyama (1995)  berpendapat, unsur terpenting dalam modal sosial adalah kepercayaan yang merupakan perekat bagi langgengnya kerjasama dalam kelompok masyarakat. Dengan kepercayaan (trust) orang-orang akan bisa bekerjasama dalam kelompok masyarakat. Dengan kepercayaan (trust) orang-orang akan bisa bekerjasama secara lebih efekti. Unsur kepercayaan tersebut di tumbuhkan dari awal pembentukan komunitas. sikap saling percaya dimunculkan agar masing-masing anggota mempunyia rasa tanggung jawab serta menumbuhkan rasa kekeluaraan yang  tinggi antara satu sama lain. Hal tersebut bisa dilihat dari kedekatan anggota, tidak ada senioritas ataupun junioritas di dalam lingungan tersebut. "Hirup Sauyunan"  begitulah pepatah  sunda menagtakan, dalam artian hidup bersama-sama dalam segala hal. baik dari segi penggarapan kegiatan, pemecahan masalah dengan jalan musyawarah, dan juga melangkah bersama-sama dalam melestarikan budaya sunda. 
Setelah tumbuhnya Kepercayaan tersebut maka kerjasama untuk saing membesarkan satu sama lain terbangun. hal demikian yang diterapkan dalam komunitas LISUNG. 
 2. Norma (Norms)
Norma atau kaidah adalah ketentuan-ketentuan yang menjadi pedoman dan panduan dalam bertingkahlaku dalam kehidupan masyarakat. Norma berisi anjuran untuk berbuat baik dan larangan untuk berbuat buruk dalam bertindak sehingga kehidupan ini menjadi lebih baik.
Meskipun dikatakan komunitas yang berbeda halnya dengan organisasi dimana terdapat aturan tertentu yang biasa di uangkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dalam mengatur jaanny roda organisasi supaya lebih sdan sesui dengan pedomannya. Berbeda denga komunitas LISUNG punya aturan tertentu didalamnya. ada norma-norma yang harus dipakai dalam menjalankan tujuan tersebut.  namun norma yang dipakai adalah norma yang tidak tertulis. adapun norma yang dibudayakan diadalamnya adalah 
a. Cara
Cara bertatakrama yang baik ketika bertemu dengan sesam anggota LISUNG atau dengan orang lain adalah dengan mengucapkan "SAMPURASUN" yaitu salam dalam kebudayaan Sunda.
b. Kebiasaan (Folkways)
Dengan membiasakan berbicara baik kepada sesama anggpta  ataupun kepada masyarakat dengan menggunakan bahasa sunda yang baik, atau istilahnya lemes.
c. Tata Kelakuan (mores)
Melarang setiap anggota untuk bertindak anarkis ataupun tidak sopan karena itu tidak sesuai dengan budaya kasundaan.
3.  Jaringan Sosial (Social Networks)
Jaringan sosial merupakan salah satu dimensi capital sosial selain kepercayaan dan norma. Konsep jaringan dalam modal sosial lebih memfokuskan pada asepek ikatan anatara simpul yaitu terdiri dari individu atau kelompok (organisasi). dalam aspek jaringan komunitas LISUNG menggunakannya secara optimal karena aspek inilah yang menentukan eksistensi LISUNG. Lisung mempunyai beberapa jaringan diantaranya jaringan yang menghubungkan dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan di Kta Bandung, kemudian jaringan dengan komunitas penggerak kebudayaan di kota Bandung, jaringan dengan komunitas penggerak seni sunda di kampus-kampus luar. dan metode tersebut digunakan dengan menarik simpul-simpul di setiap komunitas atau organisasi.
Kuatnya jaringan yang ada  akan  menimbulkan kesetiaan kelompok di mana setiap anggota akan merasa menjadi bagian dari kelompok tersebut.  Dari sisi pembelajaran, proses pembelajran anggota  dalam  kelompok menjadi lebih efektif dengan terhubungnya  mereka dalam  sebuah jaringan. Pengetahuan yang ada baik pengetahuan lama atau  baru akan menjadi pengetahuan kelompok ketika mrekaberada dalam  satu jaringan dengan tujuan yang sama. Transfer pengetahuan yang ada  dalam kelompok menjadi lebih cepat dengan terhubungnya mereka  dalam satu jaringan. 
Adanya jaringan akan menimbulkan invoasi dalam hal membuat sebuah kegiatan, misalnya munculnya cara baru dalam mengkonsep sebuah kegiatan atau kajian .

Kondisi yang Menyuburkan Modal Sosial
Modal sosial akan tumbuh subur dalam organisasi atau kelompok  ketika terdapat  kondisi yang memungkinkan anggota untuk mengembangkan modal sosial tersebut dalam sikap dan perilaku mereka dalam berorganisasi atau kelompok.  Kondisi tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Keadilan
Keadilan merupkan kondisi di mana secara umum anggota  merasakan ada keadaan yang seimbang, sebanding atauimbal balik yang setimpal di dalam organisasi yang menyangkut aturanyang diterapkan atau kebijakan organisasi terhadap anggotanya. Kondisi organisasi yang  dirasakan adil oleh anggotanya akan mendorong anggotanya untuk  berinteraksi secara nyaman dengan anggota lain. Keadilan tidak akan menimbulkan prasangka, kecurigaan atau sikap negatif lainnya yang  mengganggu kualitas interaksi antar anggota.
     2. Kepemimpinan Transformasional
Kondisi organisasi tak akan lepas dari tipe kepemiminan yang ada. Kepemimpinan transformasional yang dikenal sebagai  kepemimpinan yang humanis dan mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap bawahan dipandang mampu memberikan dampak pada meningkatnya jalinan sosial pada anggota organisasi. Menurut Bass dan Riggio (2006) tipe kempimpinan tersebut sangat memberikan keleluasaan  bagi bawahan untuk tumbuh dan berkembang dengan cara memperhatikan kebutuhannya, memberdayakannya dan menyelaraskan tujuan pengikut yang bersifat individu atau kelompok dengan tujuan organisasi.  Kepemimpinan transformasional akan mampu menstimulasi  bawahan untuk bertindak sesuai dengan tujuan organisasi melalui bimbingan dan mentoring. Perasaan adanya pengakuan  pada diri bawahan akan meningkat karena dalam praktiknya pemimipin begitu menghargai bawahan dan mengedepankan moralitas, komitmen, integritas, kepercayaan dan mampu megintegrasikan visi individu dengan organisasi sehingga dalam pencapaian visi organisasi di dalamnya terdapat pencapaian visi pengikut (Hoyle, 2006). Hasilnya bawahan mempunyai keterikatan yang kuat dengan organisasi sehingga perilakunya akan selaras visi organisasi.
      3. Budaya Organisasi
Budaya yang ada dalam organisasi akan mempengaruhi perilaku anggotanya. Budaya biasanya berisi nilai-nilai yangdijadikan dasar bagi anggota untuk berperilaku. Nilai-nilai tersebut merupakan sumber dan daya hidup organisasi. Budaya yang mendukung munculnya modal sosial yaitu budaya organisasi yang seleras dengan nilai-nilai humanisme, sarat dengan budaya kolektif dan memberikan keleluasaan kepada anggota untuk tumbuh dan berkembang bersama.
     4. Sikap Anggota
Kondisi organisasi tak bisa dipisahkan dari perilaku individu-individu yang ada di dalamnya. Meskipun ada norma dan aturan yang berlaku  dalam organisasi, namun unsur individual masih tetap memegang peranan penting bagi kemunculan modal sosial. Normadan aturan terkadang tak mampu mngintervensi keputusan berperilaku pada anggotanya. Karenanya sikap dari anggota secara individual menentukan keberadaan modal sosial. Sikap tersebut terdiri dari kedermawanan, sikap  positif, kemampuan berempati, adanya sikap melayanidan kemampuan anggota untuk memberikan apresiasi kepada anggota lain.
     5. Penerimaan terhadap Keragaman
Organisasi terdiri dari kumpulan individu dengan keragaman yang ada di dalamnya, baik keragaman yang meliputi umur,jenis kelamin, pengetahuan, pengalaman kerja atau keragaman yang tak terlihat seperti cara pandang, ideologi dan nilai-nilai yang dianut.Keragaman yang ada  di satu sisi akan berdampak positif seperti munculnya kreativitas atau ide-ide yang muncul demi kemajuan organisasi. Namun ketika anggota tidak menyadarinya sebagai sebuah realita sosial yang harus mereka terima,
maka keragaman akan menimbulkan konflik dalam organisasi. Karenanya, untuk mmelihara modal sosial diperlukan sikap anggota yang menerima keragaman.

                                                                   KESIMPULAN
Modal sosial telah dipercaya sebagai modal yang mampu meningkatkan eksistensi komunitas LISUNG  karenanya modal tersebut diperhitungkan keberadaannya dalam komunitas tersebut. . Modal tersebut terdiri dari  kepercayaan (trust), norma (norm), sikap timbal balik (reciprocity) dan jaringan (network)antar individu dalam sebuah kelompok atau organisasi. Di  samping itu, ada unsur lain yang telah dipraktikkan dalam kelompok atau organisasi, namun  belum populer sebagai modal sosial seperti,  sense of belonging(rasa memiliki), gotong royong, kepedulian sosial, toleransi, kohesivitas, kesetiakaawanan dan sikap-sikap lain yang telah berkembang dan  dipraktikkan sebagai nilai-nilai prososial dalam berorganisasi. 

Untuk melestarikan keberadaan modal sosial diperlukan kondisi  yang menumbuhkannya seperti adanya keadilan, penerapan kepemimpinan transformasional, budaya organisasi, sikap anggota yang
positif dan penerimaan terhadap keragaman. Dalam praktiknya modal sosial yang tinggi terkadang mempunyai dampak negatif. Kohesivitas kelompok dan solidaritas anggota yang tinggi memicu munculnya fanatisme kelompok yang memandang  kelompok lain lebih rendah.

Kumpulan artikel yang di buat oleh saya sendiri dan opini, ertikel yang saya muat ulang dari koran